Preloader
Binokular Hubungi Kami
Ilustrasi satir presiden Prabowo Subianto sedang mengirim file berjudul “Data Penduduk Indonesia.xlsx” ke ponsel Donald Trump, menggambarkan isu keamanan data dalam konteks pengawasan media dan sosial.

Risiko Kedaulatan Digital di Balik Kesepakatan Perdagangan RI-AS

Masalah keamanan data pribadi kembali menjadi sorotan di Tanah Air. Setelah masalah kebocoran data, kali ini sorotan publik mengarah pada kesepakatan transfer data antara Indonesia dan Amerika Serikat. Transfer data ini menjadi bagian dari kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan AS.

Indonesia dan AS akhirnya mencapai kesepakatan perdagangan. AS memberikan tarif impor sebesar 19% untuk barang-barang dari Indonesia. Persentase ini lebih rendah dari yang diumumkan Presiden Trump sebelumnya yakni mengenakan tarif sebesar 32% untuk Indonesia. Untuk tarif yang lebih rendah, pemerintah Indonesia bersedia menerima sejumlah syarat, salah satunya terkait transfer data. Rincian dari kesepakatan perdagangan disampaikan melalui  Fact Sheet berjudul “The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal” yang dirilis pemerintah AS pada 22 Juli 2025.

Dalam dokumen tersebut, salah satu poin penting menyebutkan langkah kedua negara untuk menghapus hambatan dalam perdagangan digital. AS menyampaikan bahwa kedua belah pihak akan menyelesaikan kesepakatan terkait kerja sama di bidang perdagangan, layanan, dan investasi digital. Sebagai bagian dari komitmen itu, Indonesia akan memberikan jaminan hukum atas kemampuan untuk mentransfer data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat, dengan menetapkan bahwa AS memenuhi standar perlindungan data yang dianggap memadai menurut ketentuan hukum di Indonesia.

Kesepakatan tersebut langsung memantik diskusi publik. Muncul kekhawatiran data pribadi masyarakat Indonesia akan disalahgunakan. Di media sosial, topik ini cukup mendominasi diskusi. Sementara di media massa, topik ini juga menjadi sorotan.

Riuh di Media Sosial

Kesepakatan mengenai transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat dalam perjanjian perdagangan pada 22 Juli 2025 menggema di media sosial X. Topik transfer data pribadi sempat menduduki trending topic X di Indonesia.

Grafik 1. Statistik X terkait isu “Transfer Data Pribadi dari Indonesia ke Amerika” periode 21– 31 Juli 2025. (Sumber : Socindex)

Dibantu alat big data Socindex, Jangkara Data Lab memantau percakapan di X menggunakan keyword “transfer data”. Selama pemantauan 21-31 Juli 2025, Socindex memperlihatkan ada 2.135 talk atau percakapan. Jumlah cuitan tersebut meraup 16.060 engagement, 9.402 applause, 7.717.492 audience, dan berpotensi untuk lewat di linimasa 110 juta akun (buzz reach).

Grafik performa media sosial dari Socindex yang menunjukkan tren Talk, Applause, dan Virality terkait isu Donald Trump dan transfer data pribadi di platform X (Twitter) selama periode 21 Juli – 1 Agustus 2025.
Grafik 2. Linimasa Percakapan  X isu “Transfer Data Pribadi dari Indonesia ke Amerika” periode 21– 31 Juli 2025. (Sumber : Socindex)

Percakapan di media sosial mencapai puncaknya pada 24 Juli 2025. Topik yang paling banyak dibicarakan soal pemberitaan terkait dengan transfer data pribadi ke AS dilakukan dengan tidak sembarangan dan berlandaskan hukum UU PDP.

Grafik sentimen percakapan dari Socindex di media sosial X (Twitter) terkait isu Donald Trump dan transfer data pribadi, dengan dominasi sentimen negatif pada 24–28 Juli 2025.
Grafik 3. Sentiment Percakapan  X isu “Transfer Data Pribadi dari Indonesia ke Amerika” periode 21– 31 Juli 2025. (Sumber : Socindex)

Sentimen warganet terhadap isu program transfer data didominasi oleh cuitan negatif. Mayoritas sentimen negatif dari kekhawatiran pelanggaran UU PDP, perdebatan manfaat ekonomi versus kedaulatan digital, ancaman bagi teknologi lokal, dan tuntutan transparansi.

Kompilasi unggahan di platform X (Twitter) tentang isu transfer data pribadi Indonesia ke Amerika Serikat, menampilkan pernyataan Meutya Hafid dan Puan Maharani serta reaksi warganet, dimonitor melalui Socindex.
Gambar 1. Tangkapan layar cuitan warganet soal kritik “transfer data pribadi”.(Sumber : Socindex)

Tidak hanya ramai diperbincangkan di media sosial X, isu ini turut menjadi perhatian yang luas dari media massa baik online, cetak, maupun elektronik. Dengan menggunakan Newstensity, Jangkara Data Lab memantau pemberitaan terkait isu ini selama 21-31 Juli 2025 dengan kata kunci ”transfer data”. Terpantau ada 2.678 pemberitaan.

Grafik tren topik global dari Newstensity menunjukkan lonjakan pemberitaan terkait isu transfer data pribadi ke Amerika Serikat yang melibatkan Donald Trump, dengan puncak tertinggi pada 24 Juli 2025.
Grafik 4. Linimasa pemberitaan “Transfer Data Pribadi dari Indonesia ke Amerika” periode 21– 31 Juli 2025. (Sumber : Newstensity)

Puncak pemberitaan terjadi pada tanggal 24 Juli 2025 dengan topik paling banyak diberitakan soal pemerintah menanggapi transfer data pribadi ke AS dilakukan dengan tidak sembarangan dan berlandaskan hukum UU PDP.

Grafik bar dari Newstensity yang menunjukkan sebaran pemberitaan media terkait isu transfer data pribadi dan Donald Trump, dengan kompas.com, tempo.co, dan detik.com sebagai tiga media teratas dalam volume publikasi.
Grafik 5. Grafik top media pemberitaan “Transfer Data Pribadi dari Indonesia ke Amerika” periode 21– 31 Juli 2025. (Sumber : Newstensity)

Media nasional menjadi media paling banyak memberitakan mengenai kesepakatan transfer data pribadi WNI ke AS. Kompas.com menjadi media paling banyak memberitakan dengan 74 pemberitaan. Diikuti dengan tempo.co dengan 65 pemberitaan, detik.com dengan 55 pemberitaan, suara.com dengan 42 pemberitaan dan antaranews.com dengan 32 pemberitaan.

Visualisasi dari Newstensity yang menunjukkan distribusi sentimen media terhadap lima tokoh publik—Donald Trump, Meutya Hafid, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, dan Hasan Nasbi—dalam isu transfer data pribadi, didominasi oleh sentimen positif.
Grafik 6. Grafik entitas pemberitaan “Transfer Data Pribadi dari Indonesia ke Amerika” periode 21– 31 Juli 2025. (Sumber : Newstensity)

Presiden AS Donald J Trump menjadi entitas paling banyak disebutkan dalam pemberitaan kesepakatan transfer data pribadi WNI ke AS. Disusul Menkomdigi Meutya Hafid, Presiden Prabowo Subianto, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Kepala Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia (PCO) Hasan Nasbi.

Klarifikasi Pemerintah

Atas berbagai kontra yang bermunculan, Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut detail teknis dari kesepakatan tersebut masih dirundingkan. Ia menegaskan bahwa pertukaran data tidak akan terjadi langsung antara pemerintah (governmenttogovernment), melainkan perusahaan swasta yang memproses data yang telah mendapatkan persetujuan langsung dari pemilik data. Pemerintah tengah menyusun protokol keamanan yang akan memastikan transfer data dilakukan secara sah, aman, dan terukur melalui kerangka perlindungan hukum nasional.

Lebih lanjut, Airlangga mengambil contoh penerapan protokol keamanan di Nongsa Digital Park di Batam sebagai model yang kini digunakan sebagai acuan. Di kawasan tersebut, sistem keamanan mencakup aspek digital maupun fisik. Misalnya, kontrol akses yang mencegah siapa pun memasuki pusat data tanpa izin, perlindungan perangkat keras dan kabel jaringan yang memenuhi standar tertentu untuk menghindari risiko penyadapan atau pengambilan data secara ilegal.

Pernyataan Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto diperkuat oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menjelaskan bahwa negosiasi terkait kesepakatan tersebut masih berlangsung. Meskipun, Presiden Prabowo tidak menjelaskan alasan pemerintah Indonesia menerima pengambilan data sebagai bagian dari hasil kesepakatan tarif impor Indonesia-AS.

Sementara, Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto menyebut data yang dimaksud dalam kesepakatan dagang antara Indonesia-AS hanya mencakup data komersial. Data pribadi maupun data strategis milik negara, tidak termasuk di dalamnya. Haryo menambahkan, ketentuan transfer data itu telah diatur dalam regulasi yang berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP No.27/2022).

Syarat dan Batasan Transfer Data Lintas Negara Dalam UU PDP

Perlindungan data pribadi masyarakat Indonesia diatur berdasarkan UU PDP No. 27 Tahun 2022, yang sudah berlaku penuh sejak 17 Oktober 2024. UU ini menetapkan ketentuan khusus mekanisme dan syarat transfer data lintas negara yang diatur dalam UU Perlindungan Data Pribadi :

Pasal 56

Transfer Data Pribadi ke luar negeri hanya dapat dilakukan oleh Pengendali Data, dengan memenuhi salah satu dari tiga syarat utama

  • Negara tujuan memiliki perlindungan data yang setara atau lebih tinggi (adequacy);
  • Jika tidak, harus ada mekanisme perlindungan hukum yang mengikat (seperti kontrak standar);
  • Jika kedua syarat tidak terpenuhi, maka diperlukan persetujuan eksplisit dari pemilik data sebelum transfer dilakukan.

Pasal 57

Pengendali data tetap bertanggung jawab penuh atas perlindungan data pribadi yang ditransfer ke luar negeri. Pengendali wajib memastikan bahwa proses pengolahan data tetap menjunjung tinggi prinsip keamanan dan kerahasiaan, serta hak-hak subjek data seperti akses, koreksi, dan penarikan persetujuan tetap dapat dijalankan. Untuk menjamin hal itu, diperlukan perjanjian kontraktual atau kebijakan internal yang mengikat antara pihak pengirim dan penerima data.

Pasal 58

Pasal ini mengatur kewenangan Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP). Di antaranya:

  • Menilai kesetaraan perlindungan data di negara tujuan
  • Menolak atau mengizinkan transfer jika syarat tidak terpenuhi
  • Meminta laporan atau hasil audit dari Pengendali Data

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa kesepakatan digital antara Indonesia dan Amerika Serikat bukanlah izin bebas transfer data pribadi, melainkan landasan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola data lintas negara.

Ia menjelaskan bahwa kesepakatan ini justru memperkuat dasar hukum untuk melindungi data pribadi warga Indonesia saat menggunakan layanan digital global berbasis AS, termasuk mesin pencari, media sosial, layanan cloud, dan e‑commerce dengan pengawasan ketat oleh otoritas Indonesia agar tidak mengorbankan hak dan kedaulatan hukum nasional.

Kesepakatan perdagangan ini disebut oleh pemerintah sebagai pijakan legal yang memungkinkan arus data lintas batas dikelola dalam kerangka tata kelola data yang aman dan dapat diandalkan, sesuai dengan prinsip perlindungan hukum nasional.

Transfer data hanya diperkenankan jika mengacu pada kepentingan yang sah, terbatas, dan dapat dibenarkan secara hukum, seperti untuk penggunaan layanan digital, transaksi e‑commerce, komunikasi melalui media sosial, penyimpanan cloud, serta riset dan inovasi digital, semua tetap diawasi sesuai UU PDP No. 27 Tahun 2022 dan PP No. 71 Tahun 2019.

Dengan demikian, kata Menkomdigi, kesepakatan ini bukan hanya memperjelas praktik transfer data yang sudah berlangsung secara global, tetapi juga menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara G7 yang telah lebih dulu menerapkan mekanisme serupa, sambil menegakkan kedaulatan hukum nasional atas data pribadi warganya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria, yang  menegaskan bahwa transfer data pribadi ke AS tetap tunduk pada ketentuan UU PDP Pasal 56, dengan prinsip adequacy sebagai acuan utama. Jika AS belum memenuhi standar yang ditetapkan, maka proses transfer harus didahului oleh persetujuan pemilik data. Ia memperingatkan bahwa hal ini bukan berarti Indonesia bisa mentransfer semua data pribadi secara bebas, karena protokol perlindungan data tetap berlaku seperti yang telah diatur dalam UU PDP.

Nezar juga menjelaskan bahwa kesepakatan dagang tersebut masih dalam tahap finalisasi teknis, termasuk mengenai izin transfer data kepada pemilik data. Ia mengingatkan bahwa transfer tersebut hanya menyangkut data komersial, dan praktik transfer ini sebenarnya telah berlangsung lama ketika masyarakat Indonesia menggunakan layanan global berbasis AS seperti Google atau platform lainnya; kehadiran UU PDP justru memberi kepastian hukum.

Lebih lanjut, Nezar menyampaikan bahwa pembentukan Lembaga Pengawas Data Pribadi (PDP Authority) yang diamanatkan oleh UU PDP masih dalam proses harmonisasi dan penyusunan aturan turunan dengan lebih dari 200 pasal yang perlu dikaji. Ia menargetkan lembaga ini dapat rampung terbentuk pada Agustus 2025, idealnya sebelum finalisasi kesepakatan transfer data lintas batas antara Indonesia dan AS. Pembentukan otoritas ini krusial agar pengawasan terhadap transfer data berjalan efektif, mencakup audit, surveillance, dan manajemen risiko sesuai fungsi lembaga yang dirancang.

Risiko Terhadap Kedaulatan Digital Indonesia

Kesepakatan transfer data antara Indonesia dan AS ini mengundang kritik serius dari berbagai pihak karena berpotensi menggerus kedaulatan digital Indonesia. Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), kesepakatan ini bersifat timpang, fokus lebih pada kepentingan bisnis perusahaan berbasis AS ketimbang perlindungan subjek data. ELSAM menilai bahwa pengakuan AS sebagai negara dengan perlindungan data “adequate” dipandang politis dan belum tentu sejalan dengan standar teknis yang ketat yang diatur dalam UU PDP No. 27/2022.

Lebih jauh, ELSAM mengingatkan potensi akses oleh pemerintah AS terhadap data Warga Negara Indonesia (WNI) melalui FISA Section 702. Regulasi tersebut memungkinkan pengawasan massal atas komunikasi yang disimpan di server di AS tanpa persetujuan pihak Indonesia, dan menjadi sorotan krusial yang sebelumnya menyebabkan pembatalan kerangka EU‑US Privacy Shield oleh Mahkamah Eropa. ELSAM menyerukan agar pemerintah segera mengevaluasi kembali perjanjian tersebut dan mempertimbangkan pembatalannya bila belum ada jaminan perlindungan data yang memadai.

Kritik juga datang dari kalangan pakar keamanan siber. Ketua lembaga  Center for Indonesian Cyber Security and Cryptography (CISSReC), Pratama Persadha, menegaskan pentingnya pengawasan independen sebelum transfer data dijalankan dalam skala internasional. Ia mengingatkan bahwa ketentuan UU PDP memang mengizinkan transfer lintas batas, tetapi hanya di bawah persyaratan ketat yang masih memerlukan lembaga otoritas pengawas yang saat ini belum terbentuk (OPDP). Tanpa lembaga tersebut dan peraturan turunan yang jelas, komitmen perlindungan data berisiko hanya menjadi sekadar retorika belaka, tidak efektif secara operasional.

Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani secara tegas meminta pemerintah menjelaskan secara terbuka cakupan transfer data pada masyarakat. Ia mempertanyakan efektivitas UU PDP sebagai payung hukum, serta menuntut klarifikasi sejauh mana data pribadi WNI memang terlindungi dalam kesepakatan dengan AS. Puan menyoroti pentingnya transparansi mengenai batasan ruang lingkup dan mekanisme perlindungan hukum, termasuk persetujuan eksplisit dari pemilik data sebagai syarat absolut dalam UU PDP.

Epilog

Transfer data yang menjadi bagian dari kesepakatan perdagangan telah memicu polemik. Masyarakat khawatir terjadinya penyalahgunaan data pribadi dengan adanya kesepakatan tersebut. Apalagi masalah kebocoran data akhir-akhir ini terus berulang dan memicu kekhawatiran. Pemerintah memastikan data pribadi masyarakat tetap aman. Kendati demikian, kekhawatiran masyarakat tidak berkurang. Kini, pemerintah perlu memastikan proses transfer data berlangsung legal, aman, dan transparan dengan partisipasi publik yang memadai. Kedaulatan digital harus dijaga sebagai bentuk komitmen negara melindungi data pribadi warganya di era global.

Penulis: Catur Noviantoro (jangkara.id), Ilustrasi: Aan K. Riyadi

Wawasan Lainnya

Ilustrasi tangan menyusun balok huruf ESG (Environmental, Social, Governance) secara bertahap, menggambarkan proses membangun fondasi keberlanjutan yang stabil.

Memahami ESG: Pengertian, Fungsi, dan Praktik Media Monitoring di Dalamnya

Dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran akan pentingnya keberlanjutan telah mengubah cara perusahaan dan investor melihat kinerja bisnis. Lingkungan hidup yang…

Tom Lembong Berjaya di Media Sosial

Di siang hari yang cukup terik pada Jumat, 18 Juli 2025, Thomas Trikasih Lembong atau akrab disapa Tom Lembong memasuki…

Viralitas Pacu Jalur dan Budaya Indonesia

Olah raga pacu jalur belum lama ini menjadi viral dan dikenal masyarakat luas baik di Indonesia maupun luar negeri dalam…

Langkah Besar, Risiko Besar: Apakah Indonesia Siap di BRICS? 

Dalam satu dekade terakhir, peta ekonomi dunia mengalami pergeseran tajam. Blok negara-negara berkembang yang tergabung dalam BRICS —yakni Brazil, Rusia,…

Robodog & Humanoid Polri: Gimik atau Futuristik?

Selama kurun waktu dua minggu terakhir, topik Robodog dan Humanoid Polri cukup masif diberitakan baik media cetak, online maupun elektronik….

Menelisik Narasi Penyanderaan Philip Mark Mehrtens

Pesawat Susi Air tipe Pilatus Porter terbakar di landasan Paro, Nduga, 7 Februari 2023. Dalam hitungan jam, Tentara Pembebasan Nasional…

MoU Kejagung dan Operator Telekomunikasi: Antara Penegakan Hukum dan Ancaman Privasi

Kerja sama antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan empat operator telekomunikasi yang baru saja diteken memicu perdebatan publik. Kerja sama tersebut…

AI: Tidak Sekadar If Else

Kecerdasan buatan (AI) lahir dari mimpi menciptakan mesin yang mampu meniru pemikiran manusia. Dimulai dari Turing Test yang diperkenalkan Alan…

Akseleran dan Musim Gugur Fintech Lending

Musim gugur fintech di Indonesia tampaknya masih belum berakhir. Teranyar, PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia atau lebih dikenal sebagai Akseleran…

Rumah Subsidi Mungil: Antara Aksesibilitas dan Kelayakan

Lippo Group menampilkan usulan konsep rumah subsidi di Lobby Nobu Bank, Plaza Semanggi, Jakarta. Lippo Group memberikan dua mock up…