Preloader
Binokular Hubungi Kami
Testimoni

Sudewo dan Badai Politik di Pati: Dari Kenaikan PBB hingga Aksi Massa

Awal Agustus 2025 menjadi bulan yang panas di Kabupaten Pati. Bukan karena suhu udara, tapi karena tensi politik yang meledak hanya dalam hitungan hari. Nama Bupati Sudewo yang sebelumnya mungkin hanya sesekali muncul di pemberitaan nasional, mendadak memenuhi halaman media, linimasa media sosial, hingga obrolan warung kopi. Semua berawal dari satu kebijakan: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%.

Menggunakan alat media monitoring dan media sosial monitoring khusus politik Polmetrik, gelombang percakapan tentang Sudewo di media sosial Pati melonjak hampir 12 kali lipat antara 4–13 Agustus 2025. Jika sebelumnya topik seputar Bupati hanya didominasi laporan pembangunan dan kunjungan kerja, kini 80% percakapan berubah menjadi kritik dan tuntutan.

5-8 Agustus: Titik Nyala

  • 5 Agustus
    Nama Sudewo menjadi sentral perhatian publik pada 5 Agustus lalu pasca pembongkaran paksa posko logistik di alun-alun Pati viral. Pembongkaran itu viral lantaran diwarnai cekcok antara massa aksi dan Sekda Pati, Riyoso. Ditambah lagi dengan media yang memunculkan dua angka fantastis dari pernyataan Sudewo: 250% kenaikan pajak PBB dan 50.000 orang massa aksi ditantang untuk berdemo.
    Pemantauan percakapan di media sosial menunjukkan aktivitas signifikan setelah pembongkaran paksa itu mencuat. Angkanya hampir menyentuh 100%. Tentu bukan aktivitas yang bisa dianggap biasa apalagi disepelekan.
    Kritik pedas dan komentar menyindir mulai menghujani akun instagram milik Sudewo. Beberapa komentar bahkan sudah menarasikan pemakzulannya sebagai Bupati.
Titik kemunculan percakapan Sudewo. (Sumber: Polmetrik)
Ragam komentar pengguna media sosial (Sumber: Polmetrik)
  • 6 Agustus
    Eskalasi isu di media massa menambah bahan bakar ke api yang sedang menyala. Berdasarkan pemantauan, narasi tantangan 50.000 pendemo dan penetapan tarif PBB masif dikabarkan pada 6 Agustus. Pemberitaannya meningkat hingga 85% sejak dua hari terakhir dengan mayoritas sentimen negatif.
    Pun demikian pada media sosial. Total pembicaraan media sosial bahkan mencapai 10.317. Mengindikasikan tingginya perhatian publik terhadap isu ini.
Rekaman jumlah pemberitaan. (Sumber: Polmetrik)
Rekaman jumlah percakapan di media sosial. (Sumber: Polmetrik)
  • 7 Agustus
    Pada 7 Agustus tekanan publik kian membesar. Ulasan media massa dan percakapan media sosial kian meroket. Seiring dengan itu, persepsi publik terhadap Sadewo turut merosot.
    Sudewo kemudian membatalkan kenaikan PBB dengan alasan mengikuti anjuran Gubernur Jawa Tengah dan Mendagri. Dia juga meminta maaf atas kegaduhan dan mengoreksi pernyataannya tentang tantangan 50.000 pendemo.
    Upaya ini terlihat sebagai langkah manajemen krisis yang dipakai untuk meredakan gejolak di masyarakat. Harapannya tentu dapat meredam situasi yang terlanjur memanas.
Deeskalasi jumlah pemberitaan. (Sumber: Polmetrik)
  • 8 Agustus
    Permintaan maaf Sudewo dan pembatalan kenaikan PBB ternyata membuahkan hasil. Berdasarkan pemantauan, langkah mitigasi itu terbukti menaikkan skor persepsi publik.
    Namun, percakapan media sosial dan jangkauan media masih melonjak dengan mayoritas sentimen negatif dan netral sensitif. Narasi yang berkembang di media sosial dan media massa tetap sama dengan highlight 250% dan 50.000. Krisis ini tampaknya lebih besar dari yang dibayangkan dan yang dapat diantisipasi Sudewo dan jajarannya.

13 Agustus: Pati Memanas

Hari ini menjadi puncak demonstrasi. Meski PBB sudah dibatalkan, puluhan ribu orang (beberapa sumber menyebut hingga 100 ribu) turun ke jalan. Mereka tidak hanya menuntut pencabutan kebijakan pajak, tapi juga pemakzulan Sudewo—narasi yang sebelumnya sempat terekam.

Selain itu, massa aksi juga menuntut beberapa hal lain:

  • Penolakan kebijakan lima-hari sekolah
  • Penghentian renovasi Alun-Alun Rp2 miliar
  • Pelestarian Masjid Alun-Alun
  • Pembatalan proyek videotron Rp1,39 miliar
  • Pengembalian tenaga honorer RS Soewondo

Di atas dashboard, krisis ini tercatat sebagai rekor terbanyak Sudewo mendapat interaksi publik: 110 ribu engagement dari berbagai platform. Kantor berita pun seolah tidak ingin tertinggal. Terpantau 3.676 artikel berita tentang Sudewo dan Pati muncul dalam waktu sehari.

Indeks persepsi publik turun hingga menyentuh 0,01 atau turun 400% lebih sejak 11 Agustus. Sentimen masih didominasi tone negatif dan netral sensitif dengan narasi tolak kenaikan pajak dan pemakzulan Sudewo.

Di lapangan, kericuhan pecah—botol dilempar, pagar didorong, mobil polisi dibakar. Aparat merespons dengan water cannon dan gas air mata. DPRD pun membentuk Pansus hak angket untuk mengusut kebijakan dan tindakan Bupati.

Data Bicara: Krisis Kepercayaan

Jika melihat tren data, krisis ini punya pola yang khas. Ada tiga indikator yang mencolok:

  1. Lonjakan Sentimen Negatif
    Dari 5 Agustus hingga puncak aksi 13 Agustus, sentimen negatif terhadap Sudewo relatif stabil di angka 62%. Sentimen negatif sempat menurun ketika Sudewo meminta maaf pada 7 Agustus kemudian melanjutkan tren yang stabil dan mencapai puncaknya pada 13 Agustus. Sudewo menuai sentimen negatif pada 5-13 Agustus sebanyak 69% dari 6.234 total berita yang muncul.
  1. Perluasan Isu
    Awalnya hanya tentang PBB, namun dalam 8 hari tuntutan melebar ke berbagai sektor: pendidikan, infrastruktur, hingga tata kelola rumah sakit. Ini tanda publik kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Krisis ini terpolar dari personal Sudewo sebagai aktor tunggal, menjadi pemkab secara keseluruhan.
  2. Keterlibatan Massa Besar
    Data perkiraan jumlah peserta aksi (online & offline) menunjukkan lebih dari 300 ribu orang terlibat dalam bentuk apapun, dari hadir langsung di lapangan hingga ikut kampanye digital.

Ketika “Damage Control” Terlambat

Kasus Sudewo di Pati memperlihatkan bagaimana respons defensif justru memperbesar krisis. Langkah pembatalan kenaikan PBB dan permintaan maaf pada 7–8 Agustus memang sempat menurunkan tensi, tetapi data percakapan menunjukkan bahwa publik sudah terlanjur mengkristalkan kekecewaan. Narasi yang beredar tidak lagi sekadar soal teknis tarif pajak, melainkan meluas ke isu pendidikan, alun-alun, videotron, hingga tata kelola rumah sakit.

Artinya, ketika Sudewo baru bergerak, percakapan publik sudah beralih dari kritik kebijakan menuju tuntutan pemakzulan. Damage control yang datang terlambat tidak cukup membalikkan arus sentimen negatif yang stabil di atas 60% sejak 5 Agustus.

Dampak Politik

Krisis yang meledak sejak 5 Agustus berujung pada keruntuhan citra politik Sudewo. Berdasarkan pemantauan, indeks persepsi publik terhadap dirinya merosot sangat tajam: turun 2.216,22% hanya dalam delapan hari. Dari posisi relatif stabil pada awal bulan, skor persepsi publik anjlok hingga menyentuh angka 0,06 pada 13 Agustus.

Angka ini bukan sekadar penurunan, melainkan sinyal alarm politik yang sangat serius. Bagi seorang kepala daerah, penurunan sebesar itu mencerminkan hilangnya legitimasi di mata masyarakat. Di ranah wacana publik, sentimen negatif yang konsisten di atas 60% menunjukkan bahwa krisis sudah tidak lagi bisa diredam dengan klarifikasi atau permintaan maaf.

Secara formal, DPRD membentuk Pansus hak angket untuk mengusut kebijakan Bupati. Namun, terlepas dari hasil politik di lembaga tersebut, tren data memperlihatkan bahwa Sudewo sudah kehilangan modal kepercayaan yang selama ini menopang kepemimpinannya.

Epilog

Kisah Sudewo di Pati bukan hanya soal kenaikan PBB 250% yang berujung dibatalkan. Lebih jauh, ini adalah pelajaran bagaimana krisis komunikasi dan kebijakan yang salah urus dapat berubah menjadi krisis legitimasi dalam hitungan hari. Di era media sosial, jarak antara “isu teknis” dan “gerakan massa” sangat tipis—cukup satu kebijakan yang dirasakan tidak adil, ditambah pernyataan publik yang memicu emosi kolektif, untuk memantik gelombang besar.

Bagi Sudewo, ini adalah peringatan bahwa jabatan kepala daerah bukan hanya soal administrasi, tetapi juga soal menjaga rasa percaya masyarakat. Begitu kepercayaan runtuh, bahkan langkah korektif yang benar pun bisa kehilangan makna.

Penulis: Fajar Yudha Susilo, Ilustrasi: Aan K. Riyadi

Analisis Lainnya

Siapa yang Benar? Menilik Berbagai Survei Kinerja Setahun Prabowo-Gibran

Tanggal 20 Oktober 2025 menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan Kabinet Merah…

Dampak Senyap dari Udang Beku Cikande

Bagaimana jika makanan yang selama ini kita anggap aman ternyata membawa ancaman tak kasatmata? Di tengah panasnya isu makan bergizi…

Konversi Kritik Menjadi Dukungan ala Purbaya

Siang itu, sebuah nomor berdering di ponsel Purbaya Yudhi Sadewa yang masih menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lewat…

Membaca Ulang Pidato Kontroversial Prabowo di PBB tentang Palestina

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto kembali menegaskan dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina dan implementasi solusi dua negara (two-state solution). Hal…

Gagal Paham Negara Soal Anarkisme: Dari Stigma “Anarkistis” hingga Kriminalisasi Buku 

Setiap kali jika demonstrasi di Indonesia berujung ricuh, kepolisian hampir selalu menggunakan istilah “anarkistis” untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Kosakata ini…

Kinerja TNI-Polri dan Evolusi Ketakutan Sipil

Ketika perang saudara di Inggris tahun 1642-1651, filsuf Thomas Hobbes tinggal di Prancis, mengerjakan karya filosofisnya yang dikenal sebagai mahakarya…

Pantang Mundur MBG di Tengah Banjir Kritikan dan Keracunan Massal

MBG atau yang diketahui sebagai program Makanan Bergizi Gratis masih menjadi topik yang terus diperbincangkan oleh masyarakat. Agaknya selalu ada…

17+8 Tuntutan Rakyat: Sebuah Pekerjaan Rumah Untuk Negara

Gelombang demonstrasi massa sedang melanda seluruh Indonesia. Demo massa yang dimulai dari tanggal 25 Agustus ini, telah menyebar bagai api…

Politikus Perempuan PDIP di DIY, Siapa Paling Populer?

Di tengah dinamika politik yang sering dianggap kental dengan figur laki-laki, nama Endah Subekti Kuntariningsih mencuat setelah terpilih sebagai bupati…

QRIS, dari Pasar Tradisional ke Kancah Global

Riuh suasana Pasar Gamping, DI Yogyakarta sudah mulai berkurang pagi itu. Beberapa los tampak kosong ditinggal pulang para pemiliknya yang…