Dari Loyalitas ke Toxicity: Tipisnya Batas Antara Rasa Kagum dan Fanatisme
Siapa sangka sebuah candaan sederhana bisa berujung jadi drama di media sosial? Semua bermula dari unggahan yang membandingkan wajah RM…
Film animasi Merah Putih: One for All diluncurkan pada bulan Agustus 2025, bersamaan dengan perayaan HUT ke-80 Indonesia dengan harapan mampu menarik banyak penonton karena momennya yang tepat. Sayangnya, film ini justru viral karena banjir komentar pedas.
Trailer yang baru muncul di awal Agustus lalu langsung dibanjiri oleh komentar panas warganet di media sosial khususnya X/Twitter. Ada yang menyoroti dari teknis dan pendanaan animasi, ada yang mengkritik jalannya promosi, ada pula yang mengangkat isu hak cipta. Film animasi yang didapuk sebagai film animasi pertama Indonesia yang bertemakan kebangsaan ini justru menjadi medan tempur opini masyarakat.

Hingga Selasa (12/8/2025) sore, trailer itu sudah ditonton sebanyak 784 ribu kali dalam tiga hari terakhir, dengan 14 ribu komentar.
Diskusi semakin ramai hingga memasuki minggu kedua bulan Agustus yang diwarnai dengan terangkatnya isu hak cipta dan dana yang digunangan untuk produksi film animasi tersebut.
Hadirnya sebuah karya film diharapkan bisa menjadi bukti bahwa Indonesia mampu melahirkan animasi layar lebar dengan visi besar. Bertemakan patriotik, judulnya terlihat mengandung simbol nasional, dan promosinya menekankan kebanggaan akan karya anak bangsa. Namun, bagi masyarakat, kebanggaan itu terasa premature. Sebelum ditayangkan saja, film ini sudah harus menghadapi pertanyaan sulit: apakah kualitasnya sebanding dengan ambisi yang diusung?
Panasnya perbincangan awalnya diramaikan oleh klaim promosi yang menyebut film ini sebagai “film animasi Indonesia pertama” atau setidaknya memberi kesan demikian. Klaim itu langsung dimentahkan warganet yang mengingatkan bahwa jauh sebelum Merah Putih: One For All, sudah ada karya-karya animasi lokal seperti Battle of Surabaya (2015) atau Nussa (2019) yang lebih dulu hadir di layar lebar. Di titik ini, publik bukan hanya memperdebatkan kualitas, tapi juga akurasi dan penghargaan pada pionir.

Lalu datang gelombang kritik kedua yakni dugaan penggunaan dan modifikasi aset karakter dari Reallusion tanpa izin yang memadai. Warganet kemudian membagikan tangkapan layar yang membandingkan karakter di film dengan template yang tersedia di platform tersebut. Dengan pendanaan sebesar Rp6,7 milliar, warganet tentunya mempertanyakan kebenaran hal ini.

Menanggapi komentar miring terkait film besutannya yang mirip dengan aset dari Reallusion Content Store, eksekutif produser dan sutradara film Merah Putih One For All, Endiarto buka suara soal. Dia mengatakan memang ada kemiripan, namun itu sah saja.
“Kalau ada kemiripan itu sah saja. Cuma pada awalnya bidang IT, animator kami membikin bukan bermaksud begitu. Tapi, dia mengeluarkan segala effort-nya,” ungkap Endiarto. Dari pernyataannya tersebut, dia tak menjawab apakah desain dalam filmnya memang mengambil dari platform animasi luar negeri.
Tidak berhenti di situ, muncul pula tuduhan bahwa sang artist asli dari karakter dalam film animasi Merah Putih, Junaid Miran, tidak mendapatkan kompensasi yang layak. Aset tersebut dijual resmi di platform Reallusion seharga $149 (sekitar Rp2,4 juta), sedangkan Junaid mengklaim bahwa tidak ada tim produksi film yang menghubunginya untuk membeli lisensi atau memberikan kredit sebagai bagian dari pembuatan film.
Kabar tersebut menambah dimensi baru pada kontroversi dari sekadar estetika dan narasi, ke ranah etika dan hukum.
Dari sisi visual, kritik yang muncul bukan sekadar soal “bagus atau tidak”, melainkan tentang konsistensi kualitas animasi. Beberapa warganet mempertanyakan bagaimana mungkin proyek dengan klaim biaya produksi besar justru menghasilkan kualitas animasi yang dinilai “jauh di bawah ekspektasi”.

Warganet membandingkannya dengan standar internasional, atau setidaknya dengan animasi lokal yang pernah mendapat apresiasi tinggi.
Kesenjangan kualitas tersebut mengarah pada isu klasik: apakah dana yang digelontorkan benar-benar masuk ke proses kreatif, atau sebagian “terparkir” di tempat-tempat yang tak seharusnya? Walaupun belum ada bukti hukum yang memvalidasi tuduhan tersebut, persepsi publik sudah kadung terbentuk. Di mata sebagian netizen, kualitas yang dianggap buruk bukan sekadar masalah artistic, tetapi menjadi simbol kegagalan transparansi dalam mengelola proyek kreatif berskala nasional.
Dimintai kejelasan terkait hal ini, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar mengatakan Kementerian Ekonomi Kreatif tidak memberikan bantuan dana maupun memfasilitasi promosi untuk film animasi “Merah Putih: One for All” yang saat ini menjadi sorotan publik.
Di lain pihak, isu penggelapan dana ini juga dibantah secara langsung oleh produser dari pembuatan film animasi Merah Putih tersebut, Toto Soegriwo. Dalam klarifikasi yang diunggah di akun pribadinya pada tanggal 11 Agustus 2025 lalu, Toto membantah keras bahwa proyek film animasinya menerima bantuan dana sebesar Rp6,7 miliar dari pemerintah. Ia menyebut tuduhan semacam isu merupakan fitnah keji.

Tangkapan layar klarifikasi Toto Soegriwo, produser film animasi Merah Putih: One for All (sumber: akun X @totosoegriwo)
Terlepas dari klarifikasi yang telah disampaikan oleh sang produser, masyarakat tetap mempertanyakan bagaimana film animasi dengan kualitas yang tidak terlalu bagus tersebut bisa dengan cepat mendapatkan jadwal tayang di bioskop di tanggal 14 Agustus 2024. Timbul pula kecurigaan jika lolosnya Merah Putih: One For All untuk mendapatkan jam tayang di bioskop, sementara 200 film lainnya ngantre, karena ada lobi-lobi khusus yang melangkahi antrean normal.
Merah Putih: One for All kemudian menjadi lebih dari sekadar film. Karya tersebut kemudian menjadi studi kasus tentang bagaimana sebuah karya seni bisa terseret arus besar diskursus publik terkait kualitas, nasionalisme, hak cipta, dan ekspektasi terhadap industri kreatif. Apakah film ini nanti akan membungkam kritik lewat kualitasnya, atau justru memperkuat narasi yang sudah terbentuk?
Isu film Merah Putih: One for All menjadi salah satu topik yang paling ramai dibicarakan di media massa dan platform X (Twitter) dalam beberapa hari terakhir, terutama setelah trailer-nya muncul di platform digital. Viralnya film ini bukan karena pencapaian teknis atau kekuatan cerita, melainkan gelombang kritik pedas dari publik yang menyoroti kualitas visualnya. Dengan klaim biaya produksi mencapai Rp 6,7 miliar, warganet mempertanyakan mengapa hasil akhirnya justru dinilai setara dengan animasi televisi era awal 2000-an. Kritik ini cepat berubah menjadi bahan olokan massal, lengkap dengan meme yang menggambarkan visual film sebagai “sinetron jadul tiga dimensi” dan sindiran bernada humor satir.
Dibantu dengan alat big data social media monitoring Socindex, dengan memasukkan kata kunci “film animasi”, “animasi Merah Putih”, “Merah Putih One for All”, dalam periode 4 – 14 Agustus 2025 ditemukan kurang lebih sebanyak 4.477 perbincangan terkait topik ini. Dengan angka tersebut, percakapan ini mencapai kepada sebanyak 3,3 juta audiens dan melibatkan 3.300 pengguna akun atau author.

Percakapan mengenai film ini terus berkembang liar. Netizen mengemas kritik mereka dalam bentuk meme kreatif. Ada yang menyarankan penonton membawa “obat sakit mata” hingga membuat parodi tiket bioskop dengan fasilitas BPJS, ambulans, dan dokter spesialis. Bentuk kritik ini bukan hanya sindiran terhadap kualitas film, tetapi juga protes terhadap dugaan inefisiensi anggaran di industri kreatif.

Berdasarkan grafik tren percakapan di platform X (Twitter) dari 4 hingga 14 Agustus 2025, terlihat bahwa isu terkait film Merah Putih: One for All mengalami lonjakan pembahasan yang signifikan dalam waktu singkat. Pada 4–6 Agustus, percakapan masih berada di titik rendah dengan jumlah cuitan yang minim, menandakan topik ini belum terekspos luas. Lonjakan awal mulai terjadi pada 7 Agustus, dengan sekitar 4.500 cuitan.
Peningkatan besar terjadi pada 8 Agustus, dengan percakapan mencapai lebih dari 17 ribu cuitan, lalu memuncak pada 9 Agustus di angka lebih dari 21 ribu cuitan yakni ketika Cinépolis Indonesia merilis versi trailer lain, dengan mencantumkan jadwal tayang mulai 14 Agustus 2025.
Periode ini menjadi puncak perhatian publik, diwarnai dengan thread kritik, memes, hingga pernyataan dari figur publik yang membuat isu semakin viral.

Salah satu komentar nyentil dan sarkas datang dari Ridwan Hanif (@ridwanhr) yang mengatakan agar kita seharusnya tidak terlalu keras dengan film animasi ini. Ia menambahkan membuat film animasi dengan “Windows 98” jelas bukan perkara gampang. Sontak, netizen lain langsung mengeluarkan memes nostalgia, mulai dari Microsoft Paint sampai Solitaire, seolah film ini memang lahir dari zaman warnet 2000-an.
Lalu, Indonesian Pop Base (@IndoPopBase) menambahkan bumbu: info bahwa film ini punya anggaran Rp6,7 miliar. Angka yang, buat sebagian orang, setara dengan ratusan tahun jajan di warteg. Tapi begitu dibandingkan dengan hasil akhirnya, komentar “budget segunung, hasil secuil” langsung mengudara.
Puncaknya, akun @temantelinga memposting kalimat hiperbolis bahwa film ini akan jadi yang terbaik sepanjang sejarah, lengkap dengan embel-embel nasionalisme. Nada ini jelas-jelas satir, karena kita semua paham, kalau karya ini saja sudah menjadi karya “terbaik”, berarti standar terbaiknya perlu dipertanyakan.
Setelah itu, volume percakapan mulai menurun secara bertahap pada 10–11 Agustus, meski tetap berada di angka tinggi (13–18 ribu cuitan) yang menandakan topik masih relevan dan ramai dibicarakan.
Sentimen riuhnya percakapan di X terkait topik film aniasi Merah Putih: One for All didominasi oleh sentimen negatif dan juga positif.

Namun, dominasi sentimen positif di sini tidak sepenuhnya merefleksikan apresiasi dari warganet. Banyak dari cuitan “positif” sebenarnya dibungkus dengan komentar sarkas, misalnya, komentar yang seolah memuji kualitas karya, tapi dengan nada berlebihan atau analogi lucu yang justru menyoroti kekurangannya. Artinya, secara kuantitatif terlihat positif, akan tetapi secara kualitatif sentimennya bisa dibilang mengkritik dengan cara bercanda.
Sentimen negatif mulai melonjak sejak 8 Agustus, mendekati jumlah sentimen positif, lalu menurun bersamaan setelah 11 Agustus. Mayoritas sentimen negatif berisi kritik langsung, baik terhadap kualitas maupun pengelolaan anggaran, tanpa balutan humor.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun “angka” sentimen positif cukup tinggi, narasi publik di X pada periode ini lebih condong ke arah kritik, baik dalam bentuk frontal maupun sindiran kreatif. Dengan kata lain, linimasa ramai bukan karena pujian, tapi karena netizen kompak “menghujat dengan lawakan”.
Fakta ini didukung oleh jenis akun yang meramaikan riuhnya perbincangan ini di X selama periode 4 – 14 Agustus 2025.

Tangkapan layar kategori pengguna X terkait topik film animasi Merah Putih: One for All (Sumber: Socindex)
Berdasarkan grafik pengguna akun di atas, percakapan di X terkait topik ini jelas didominasi oleh akun yang teridentifikasi sebagai manusia atau “human”, dengan jumlah lebih dari 2.000 cuitan. Grafik ini menunjukkan bahwa isu ini memang menyedot perhatian publik secara organik, bukan semata-mata digerakkan oleh bot.
Kategori cyborg, akun yang dikelola manusia tetapi memiliki aktivitas otomatis sebagian, menempati posisi kedua dengan sekitar 800 cuitan. Peran cyborg di sini cukup signifikan, karena biasanya mereka membantu mempercepat penyebaran informasi atau opini dengan campuran sentuhan personal dan otomatisasi.
Sementara itu, kontribusi yang sepenuhnya robot atau akun yang sepenuhnya otomatis, justru relatif kecil, hanya sekitar 250 post. Angka ini mengindikasikan bahwa propaganda atau spam otomatis bukanlah motor utama dari ramainya percakapan, meskipun tetap ada peran kecil dari bot sepenuhnya.
Dengan proporsi seperti ini, bisa dibilang diskursus yang muncul di linimasa lebih banyak merefleksikan suara pengguna nyata, meskipun “bantuan teknologi” dari cyborg tetap memberi warna tersendiri dalam memperluas jangkauan percakapan.

Linimasa pemberitaan film animasi Merah Putih: One for All di media massa (Sumber: Newstensity)
Menggunakan alat big data media monitoring, Newstensity merekam narasi terkait panasnya topik film animasi Merah Putih: One for All dalam periode 4 – 14 Agustus 2025 berhasil menyaring pemberitaan kurang lebih sebanyak 2.206 artikel di media massa.
Pemberitaan terkait topik ini di media massa mulai merangkak naik di tanggal 8 – 9 Agustus 2025. Jika dilihat lebih detail, hal ini cukup berbeda dengan riuhnya media sosial yang sudah merangkak naik di tanggal 4 Agustus 2025. Puncak pemberitaan di X (Twitter) di tanggal 9 Agustus 2025 juga terlihat terjadi lebih awal dibandingkan pemberitaan di media massa, di mana lonjakan opini publik di platform daring kemungkinan mendorong liputan yang lebih masif oleh media massa.
Pola ini bisa dilihat jika percakapan di media sosial berperan sebagai katalis, memicu perhatian dan liputan lebih luas di ranah media massa. Total interaksi selama periode pemantauan mencapai 2.206, menandakan tingginya intensitas keterlibatan publik terhadap naiknya liputan topik ini di media massa.

Sentimen pemberitaan topik film animasi Merah Putih: One for All di media massa (Sumber: Newstensity)
Berdasarkan data visual di atas, pemberitaan di media massa menunjukkan sentimen positif sebanyak 1.117 berita (51%), sentimen netral 77 berita (3%), dan sentimen negatif 1.012 berita (46%). Meskipun selisihnya tipis, pemberitaan positif terlihat sedikit lebih mendominasi dibandingkan pemberitaan negatif.
Sentimen positif ini didominasi oleh pemberitaan media massa yang mengedepankan sudut pandang success story dari hadirnya film animasi Merah Putih: One for All, lengkap dengan pemberitaan rilis resmi karya tersebut. Di sisi lain, sentimen negatif yang juga tinggi (46%) didominasi oleh pemberitaan yang berfokus pada kontroversi yang sudah mulai terangkat ke permukaan baik dari sisi budget, hak cipta, kualitas, maupun dugaan penggelapan dana dari produksi film animasi tersebut.
Merah Putih: One For All awalnya datang dengan janji besar membawa semangat kebangsaan lewat medium animasi yang digarap anak negeri. Namun, perjalanan menuju layar justru dipenuhi riuh suara publik, dari yang penuh harap hingga yang tak segan melontarkan kritik pedas. Di tengah sorotan itu, film ini bukan lagi sekadar karya, melainkan simbol perdebatan tentang kualitas, ekspektasi, dan representasi Indonesia di panggung kreatif global.
Pada akhirnya, Merah Putih: One For All menjadi sebuah pengingat pahit manis: nasionalisme di layar lebar itu tak cukup hanya dibungkus jargon “cinta tanah air”. Publik merindukan karya yang orisinil dan membanggakan. Apakah kemudian film ini akan bangkit dari bayangan kontroversi, atau justru tenggelam di antara meme dan keraguan yang sudah terlanjur melekat?
Penulis: Jenna Nadia Rasbi (Jangkara), Ilustrasi: Aan K. Riyadi
Siapa sangka sebuah candaan sederhana bisa berujung jadi drama di media sosial? Semua bermula dari unggahan yang membandingkan wajah RM…
Peringatan Hari Pahlawan tahun 2025 tampaknya menjadi momen yang agak spesial dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana tidak? Dari 40-an nama…
Menggunakan sedan Mercedes-Benz E-Class E300 Coupe miliknya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melakukan kunjungan ke pabrik milik Danone Aqua di…
Tanggal 20 Oktober 2025 menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan Kabinet Merah…
Bagaimana jika makanan yang selama ini kita anggap aman ternyata membawa ancaman tak kasatmata? Di tengah panasnya isu makan bergizi…
Siang itu, sebuah nomor berdering di ponsel Purbaya Yudhi Sadewa yang masih menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lewat…
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto kembali menegaskan dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina dan implementasi solusi dua negara (two-state solution). Hal…
Setiap kali jika demonstrasi di Indonesia berujung ricuh, kepolisian hampir selalu menggunakan istilah “anarkistis” untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Kosakata ini…
Ketika perang saudara di Inggris tahun 1642-1651, filsuf Thomas Hobbes tinggal di Prancis, mengerjakan karya filosofisnya yang dikenal sebagai mahakarya…
MBG atau yang diketahui sebagai program Makanan Bergizi Gratis masih menjadi topik yang terus diperbincangkan oleh masyarakat. Agaknya selalu ada…