Preloader
Binokular Hubungi Kami
Testimoni

Menelisik Narasi Penyanderaan Philip Mark Mehrtens

Pesawat Susi Air tipe Pilatus Porter terbakar di landasan Paro, Nduga, 7 Februari 2023. Dalam hitungan jam, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) mengaku menyandera pilotnya, Philip Mark Mehrtens. Peristiwa yang semula terkesan “hanya” insiden penerbangan itu sontak menjelma krisis diplomatik lintas negara— sekaligus membuka babak baru perang narasi di Papua.

Selama lebih dari 20 bulan berikutnya, sang pilot asing menjadi bidak tawar paling mahal dalam konflik panjang Papua. Negosiasi berselang-seling dengan kontak senjata; publik dibuat terombang-ambing antara janji bebas dan ancaman eksekusi. Hingga 24 September 2024, TPNPB-OPM akhirnya melepas Philip—menutup episode human-interest paling dramatis di pegunungan Surga Kecil itu.

Gelombang Pemberitaan menurut Newstensity

Hasil media monitoring Newstensity merekam jelas bagaimana isu “Philip Mark Mehrtens” memuncaki sorotan pers.

Dua lonjakan tampak menonjol:

  1. Februari 2023 – titik awal penculikan ketika foto pilot diborgol beredar.
  2. Juli 2023 – kala TPNPB-OPM menaikkan ancaman dan pemerintah merespons dengan operasi gabungan Cartenz.

Himpunan ribuan artikel itu menunjukkan bahwa nama Philip Mark Mehrtens bukan sekadar korban; ia berubah menjadi medan gempur wacana antara negara dan kelompok pro-kemerdekaan.

Satu Peristiwa, Dua Dunia: Konstruksi Cerita yang Saling Sikut

A. Bingkai Negara: “Kelompok Kriminal Bersenjata”

Dalam narasi di media arus utama, penyanderaan Philip Mark Mehrtens tidak pernah diperlakukan sebagai manuver politik, melainkan tindakan kriminal murni yang mengoyak kedaulatan. Narasi ini disokong oleh pendapat pejabat berkewenangan seperti ketua satgas, pejabat militer, hingga menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan. Berikut anatomi bingkai tersebut berdasarkan teori kerangka framing dari Robert Entman serta didukung oleh data dari Newstensity.

1. Definisi Masalah
Negara memotret insiden Paro sebagai ancaman teror yang menyerang warga sipil dan kedaulatan negara. Fokus cerita bertumpu pada deretan kekerasan: pembakaran pesawat Susi Air, penawanan pilot asing, serta serangan bersenjata terhadap aparat dan warga sekitar. Motif politik kelompok pro-kemerdekaan dikebiri dari perbincangan publik.

2. Sumber Masalah (Diagnose Causes)
Pelaku secara konsisten dilekatkan label KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) atau KST (Kelompok Separatis Teroris). Ini merupakan strategi delegitimasi yang menanggalkan cita-cita politik mereka dan mengurungnya dalam kotak pelanggaran hukum pidana. Dengan menjauhkan istilah TPNPB-OPM, negara memosisikan musuh sebagai “kriminal bersenjata” yang harus diburu, bukan pihak yang layak diajak negosiasi setara.

3. Penilaian Moral (Make Moral Judgements)
Pemerintah tampil sebagai hero yang wajib melindungi rakyat dan tegaknya hukum sekaligus antitesis dari kekerasan kelompok teroris. Pernyataan Panglima TNI Yudo Margono, Kapolri Listyo Sigit, hingga Menko Polhukam Mahfud MD berulang kali menegaskan legitimasi kekuatan negara dalam menghadapi “teroris separatis”. Pendekatan militer keras disandingkan dengan citra “persuasi” untuk meneguhkan posisi hero yang coba dibangun melalui legitimasi kekuasaan dengan kekuatan militer namun tetap dalam pandangan moral baik.

4. Solusi yang Ditawarkan (Suggest Remedies)
Logika bingkai ini menuntun pada resep tunggal: operasi keamanan oleh TNI–Polri. Penegakan hukum bersenjata dianggap sahih, sementara dialog politik ditolak karena “melegitimasi kriminal”. Implikasinya, opsi mediasi internasional atau perundingan hak-menentukan-nasib-sendiri terpinggirkan di meja kebijakan.

B. Bingkai Perlawanan: Perjuangan Politik dan Diplomasi

Di sisi lain, TPNPB-OPM bersuara lewat juru bicara Sebby Sambom dan komandan lapangan Egianus Kogoya. Bagi mereka, penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens bukan kriminalitas, melainkan panggung diplomasi paksa agar dunia menoleh ke Papua.

1. Definisi Masalah
Kelompok ini menggambarkan penyanderaan sebagai aksi politik terukur untuk menelanjangi “kolonialisme Jakarta”. Inti narasi mereka: Papua Barat tak pernah mendapat hak menentukan nasib sendiri, dan kekerasan adalah “bahasa terakhir” setelah konflik puluhan tahun.

2. Sumber Masalah (Diagnose Causes)
Dengan konsisten menyebut diri TPNPB-OPM (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka) serta menolak stempel KKB/KST. Penggunaan nama resmi dipakai sebagai taktik legitimasi untuk menegaskan status mereka sebagai entitas politik dan militer sah yang memperjuangkan  kemerdekaan Papua Barat.

3. Penilaian Moral (Make Moral Judgements)
Dalam narasi ini, pemerintah Indonesia ditempatkan sebagai “kolonial” yang memaksa rakyat Papua tunduk melalui eksploitasi ekonomi dan operasi militer. Sebaliknya, OPM memposisikan diri sebagai korban heroik yang memperjuangkan martabat kolektif. Foto-foto Philip diapit pejuang bersenjata sengaja disebar untuk meneguhkan citra “pasukan pembebasan” alih-alih “penjahat”.

4. Solusi yang Ditawarkan (Suggest Remedies)

Karena masalahnya bersifat politik, maka solusi yang ditawarkan pun bersifat politik. Tuntutan utama mereka bukanlah uang tebusan, melainkan dialog setara yang dimediasi oleh pihak netral seperti PBB sebagai jalan menuju penentuan nasib sendiri.

“Nama Adalah Senjata”

Perbedaan istilah (KKB vs TPNPB) bukan perkara kosakata belaka. Bahasa telah menjadi arena pertarungan yang fundamental. Penamaan (naming) sebuah kelompok merupakan tindakan politik untuk mendefinisikan realitas, melegitimasi kekerasan, dan pada akhirnya menyetir opini publik.

Sosiolog Ariel Heryanto pernah menyinggung bagaimana penamaan mengatur legitimasi. Penyematan label kriminal mereduksi motif politik separatis; sebaliknya, penerimaan istilah TPNPB membuka pintu dialog. Newstensity mencatat mayoritas media memakai KKB, diikuti dengan penyebutan “OPM”, dan “KST” (Kelompok Separatis Teroris) yang menandakan dominasi framing negara.

Tri Suara di Panggung Media

Newstensity menangkap aktor-aktor yang diberitakan dan turut merekonstruksi narasi selama durasi penyanderaan pilot Susi Air. Aktor tersebut dibagi dalam 3 bagian: suara negara, suara perlawanan, dan suara kemanuasiaan.

SpektrumAktor KunciAgenda UtamaMedium Dominan
NegaraYudo Margono, Listyo Sigit, Satgas CartenzPenegakan hukum, operasi militerKonferensi pers, rilis Kemenkopolhukam
PerlawananSebby Sambom, Egianus KogoyaInternasionalisasi isu Papua, tuntutan referendumVideo telepon satelit, kanal independen
KemanusiaanSusi Air, Tokoh Gereja & AdatKeselamatan sandera, jalan damaiSurat terbuka, mediasi lapangan
  1. Negara: “Kriminal Bersenjata”
    Negara menempelkan label KKB/KST pada TPNPB-OPM, mengecilkan motif politik dan menegaskan legitimasi operasi bersenjata. Tokoh-tokoh seperti Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, dan Menko Polhukam Mahfud MD menjadi corong yang kerap muncul di media mainstream.
    • Panglima TNI Laksamana Yudo Margono: Pada awal kejadian, ia sempat membantah bahwa Philip Mehrtens disandera dan menyatakan sang pilot menyelamatkan diri. Pernyataan ini kemudian dibantah oleh TPNPB-OPM dengan bukti foto, memberikan “poin” awal bagi narasi perlawanan.
    • Kapolri Listyo Sigit Prabowo: Fokus pada aspek operasional evakuasi dan penegakan hukum, mengumumkan keberhasilan evakuasi 5 penumpang awal.
    • Satgas Damai Cartenz: Dipimpin oleh Kombespol Faizal Rahmadani dan Brigjen TNI JO Sembiring, satgas ini secara konsisten menjadi sumber informasi mengenai upaya pengejaran dan negosiasi di lapangan. Mereka juga menyebut klaim pembebasan oleh TPNPB-OPM sebagai propaganda
  2. Perlawanan: “Perjuangan Politik”
    Suara ini hampir sepenuhnya terpusat pada satu figur kunci yang menjadi corong utama bagi TPNPB-OPM.
    • Sebby Sambom (Juru Bicara TPNPB-OPM): Dialah yang pertama kali mengklaim tanggung jawab atas penyanderaan. Sepanjang krisis, Sebby secara aktif merilis pernyataan, foto, video, tuntutan, hingga proposal pembebasan. Dialah yang secara langsung membantah pernyataan Panglima TNI di awal kejadian. Perannya sangat vital dalam menjaga agar nyala narasi politik TPNPB-OPM tetap hidup.
    • Egianus Kogoya (Pimpinan TPNPB-OPM Nduga): Meskipun jarang berbicara langsung ke media, namanya selalu disebut sebagai pemimpin di balik aksi ini. Kesepakatannya untuk membebaskan pilot pada Agustus 2024 menjadi salah satu momen kunci.
  3. Kemanusiaan: “Selamatkan Pilot”
    Suara ini cenderung netral dan menitikberatkan pada aspek keselamatan sandera, bukan pada konflik politiknya. Pendekatan lunak dari pihak Susi Air, pemuka gereja, dan tokoh adat  inilah yang akhirnya membuka pintu pembebasan Philip Mark Mehrtens pada 24 September 2024.

Dinamika Lapangan: Dari Paro ke Rilis Sandera

  1. 7 Feb 2023 – Pesawat Susi Air dibakar di Paro, pilot diculik.
  2. Feb–Mar 2023 – Video ancaman pertama OPM; pemerintah perketat operasi.
  3. Juli 2023 – Eskalasi; OPM klaim siap menembak jatuh pesawat militer.
  4. Aug 2024 – Egianus Kogoya isyaratkan niat membebaskan, diragukan Satgas.
  5. 24 Sep 2024 – Philip Mark Mehrtens dibebaskan, diterima tim medis TNI-Polri.

Setiap titik krusial di atas memunculkan lonjakan publikasi yang terekam oleh algoritma Newstensity. Hal ini menjadi buk­ti betapa kuatnya pertautan konflik bersenjata dan panggung media monitoring.

Siapa Unggul di Medan Narasi?

Pada fase awal, TPNPB-OPM sempat “menang angin” setelah merontokkan klaim awal Panglima TNI menggunakan bukti foto yang menunjukkan bahwa pilot disandera, bukan melarikan diri. Namun seiring waktu, negara berhasil menguasai arus informasi melalui akses eksklusif ke media mainstream. Dominasi itu terlihat dari frekuensi kata KKB/KST yang jauh menyalip istilah OPM dalam pemberitaan harian.

Meski begitu, keberhasilan pembebasan justru menegaskan bahwa jalan tengah seperti dialog kemanusiaan menjadi kunci kemenangan. Jalan tengah ini seringkali tenggelam di antara narasi kekerasan dan politik.

Epilog

Kebebasan Philip Mark Mehrtens menutup satu drama, tapi membuka pertanyaan sejauh mana Indonesia dan dunia mau menyimak narasi rakyat Papua di balik senapan. Selama label “kriminal” dan “separatis” saling dihunjam, perdamaian bakal jalan di tempat.

Namun, jika pengalaman Nduga dijadikan kaca pembesar, kita belajar bahwa pendekatan humanis plus media monitoring cermat adalah kombinasi paling masuk akal. Newstensity, misalnya, telah menunjukkan bagaimana data dapat menyingkap pola bias sekaligus memberi peringatan kapan tensi publik mendidih.

Pada akhirnya, konflik ini bukan hanya perang di rimba pegunungan. Ia juga peperangan kata, headline, dan frame yang menentukan apakah Philip Mark Mehrtens dapat menghidupkan harapan atau justru mengobarkan api lama.

Penulis: Fajar Yudha Susilo, Ilustrator: Aan K. Riyadi

Analisis Lainnya

Gaduh Konten Dedi Mulyadi Mencoreng Reputasi Aqua

Menggunakan sedan Mercedes-Benz E-Class E300 Coupe miliknya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melakukan kunjungan ke pabrik milik Danone Aqua di…

Siapa yang Benar? Menilik Berbagai Survei Kinerja Setahun Prabowo-Gibran

Tanggal 20 Oktober 2025 menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan Kabinet Merah…

Dampak Senyap dari Udang Beku Cikande

Bagaimana jika makanan yang selama ini kita anggap aman ternyata membawa ancaman tak kasatmata? Di tengah panasnya isu makan bergizi…

Konversi Kritik Menjadi Dukungan ala Purbaya

Siang itu, sebuah nomor berdering di ponsel Purbaya Yudhi Sadewa yang masih menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lewat…

Membaca Ulang Pidato Kontroversial Prabowo di PBB tentang Palestina

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto kembali menegaskan dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina dan implementasi solusi dua negara (two-state solution). Hal…

Gagal Paham Negara Soal Anarkisme: Dari Stigma “Anarkistis” hingga Kriminalisasi Buku 

Setiap kali jika demonstrasi di Indonesia berujung ricuh, kepolisian hampir selalu menggunakan istilah “anarkistis” untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Kosakata ini…

Kinerja TNI-Polri dan Evolusi Ketakutan Sipil

Ketika perang saudara di Inggris tahun 1642-1651, filsuf Thomas Hobbes tinggal di Prancis, mengerjakan karya filosofisnya yang dikenal sebagai mahakarya…

Pantang Mundur MBG di Tengah Banjir Kritikan dan Keracunan Massal

MBG atau yang diketahui sebagai program Makanan Bergizi Gratis masih menjadi topik yang terus diperbincangkan oleh masyarakat. Agaknya selalu ada…

17+8 Tuntutan Rakyat: Sebuah Pekerjaan Rumah Untuk Negara

Gelombang demonstrasi massa sedang melanda seluruh Indonesia. Demo massa yang dimulai dari tanggal 25 Agustus ini, telah menyebar bagai api…

Politikus Perempuan PDIP di DIY, Siapa Paling Populer?

Di tengah dinamika politik yang sering dianggap kental dengan figur laki-laki, nama Endah Subekti Kuntariningsih mencuat setelah terpilih sebagai bupati…