Pantang Mundur MBG di Tengah Banjir Kritikan dan Keracunan Massal
MBG atau yang diketahui sebagai program Makanan Bergizi Gratis masih menjadi topik yang terus diperbincangkan oleh masyarakat. Agaknya selalu ada…
Ketika perang saudara di Inggris tahun 1642-1651, filsuf Thomas Hobbes tinggal di Prancis, mengerjakan karya filosofisnya yang dikenal sebagai mahakarya pada tahun 1651, Leviathan. Di dalam buku itu, Hobbes berargumen bahwa apa yang membuat kekerasan terjadi, bukan karena orang-orang tertentu sangat kuat dan agresif, melainkan karena sebagian besar orang itu lemah dan penakut. Jika Anda dan saya sama-sama takut satu sama lain, masuk akal bagi saya untuk menyerang Anda, atau berisiko diserang lebih dahulu. Yang lemah sama berbahayanya dengan yang kuat, dan mungkin lebih berbahaya lagi, karena mereka punya lebih banyak alasan untuk merasa takut.
Hobbes lalu menyimpulkan, tanpa otoritas, hidup manusia akan “nasty, brutish, and short”. Maka negara lahir sebagai Leviathan, monster raksasa yang mengatur dan menjaga. Sebaliknya, dalam Two Treatises of Government (1689), John Locke mengajukan proposisi berbeda, bahwa kekuasaan negara hanyalah mandat rakyat, dan jika mandat itu dikhianati, rakyat berhak melawan.
Namun, Michel Foucault mendefinisikan kekuasaan dengan cara berbeda. Dalam Discipline and Punish (1975), Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk senjata, tetapi juga dalam mekanisme, pengawasan, kontrol wacana dan normalisasi. Polri dan TNI, dalam perspektif ini bukan sekadar aparat. Mereka adalah instrumen disiplin sosial yang membentuk bagaimana rakyat boleh bersuara.
Reformasi 1998 memberikan satu pelajaran penting: supremasi sipil. TNI dipisahkan dari Polri di mana tentara kembali fokus pada pertahanan dan polisi memegang keamanan dalam negeri. Namun sejak reformasi, TNI kerap disebut mengintip ruang sipil: melakukan operasi intelijen senyap, bisnis-bisnis tersembunyi, hingga aksi kriminalisasi. Demikian juga Polri yang diharapkan menjadi wajah sipil negara, justru berkali-kali terseret kasus korupsi, pembunuhan berencana, surplus kekerasan hingga keroposnya akuntabilitas publik.
Tidak heran jika rentetan demonstrasi dan kriminalisasi sipil sejak tanggal 25 Agustus berujung dengan 17+8 Tuntutan Rakyat; coba mengingatkan kembali trauma 1998 itu. Trauma politik yang, — mengutip baris awal puisi Wiji Thukul, “seumpama bunga di tembok” — menunjukkan bahwa rakyat ingin bicara namun aparat negara memilih menjaga dengan seragam, kawat, tameng, dan senjata.
Hasil monitoring media massa menggunakan tools Newstensity milik PT Binokular Media Utama terhadap dua institusi tersebut menunjukkan betapa dominannya Polri dalam isu publik. Antara 11 – 17 September 2025, media massa online, cetak dan elektronik mencatat 82.550 berita tentang Polri (69%), lebih banyak dibandingkan TNI yakni 37.872 (31%). Puncak pemberitaan kedua lembaga terjadi pada tanggal 12 dan 16 September. Pada tanggal 12 September, media dominan menyoroti isu Ledakan di Pamulang, Tangsel dan Desakan Reformasi Polri. Sementara puncak pemberitaan pada tanggal 16 September didorong oleh topik Keterlibatan Dua Prajurit Kopassus dalam Kasus Penculikan dan Pembunuhan Kepala Cabang BRI Cempaka Putih.
Tren yang sama juga berlangsung di media sosial di mana tools Socindex mencatat bahwa Polri dibincangkan warganet sebanyak 211.608 kali (78%) dengan total engagement sebesar 258 juta. Sementara TNI hanya mencatat 59.288 talks (22%) dengan 32 juta engagement. TikTok dan Instagram merupakan dua platform utama yang digunakan warganet untuk berinteraksi.
Dominannya Polri dalam pemberitaan media massa dan percakapan media sosial menunjukkan bahwa polisi kini berada dalam pusaran sorotan publik yang lebih intens. Bukan hanya karena peran langsung di lapangan (pengamanan dan penegakan hukum) tetapi juga karena lembaga itu dianggap sedang berada di tengah krisis legitimasti. Survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 17-20 Mei 2025 misalnya, mengungkapkan TNI menempati posisi teratas sebagai lembaga yang paling dipercaya publik (95,8 persen) dibandingkan Polri yang berada di urutan kesembilan (72,2 persen) sesudah Presiden, Kejaksaan Agung, DPD, MPR, MA, Pengadilan, dan KPK.
Media monitoring Binokular mencatat bahwa, dari 82 ribu berita terkait Polri di media massa, terdapat tiga topik utama yang menyumbang pemberitaan positif antara lain Penanganan Banjir di Bali pada tanggal 9 dan 10 September (3.449 berita) dan Pengamanan Demonstrasi Driver Online pada tanggal 17 September (1.649 berita). Sentimen positif Polri juga bersumber dari topik Mutasi Polri 2025 (254 berita) yang berlangsung di Gedung Rupattama Mabes Polri, Jumat (12/9/2025).
Sementara itu, topik yang menyumbang sentimen negatif antara lain Desakan Reformasi Polri sebanyak 2.522 berita, Isu Pergantian Kapolri (1.419 berita), Keppres Pembentukan Komisi Reformasi Polri (816 berita), dan Sidang Etik 5 Anggota Brimob Pelindas Affan (754 berita).
Jika media massa merefleksikan narasi formal maka media sosial adalah cermin emosi publik. Tools Socindex mencatat sebanyak 15.361 percakapan warganet berbentuk post yang diproduksi oleh 6.567 akun. Terlihat angka yang sangat mencolok di mana Polri dibincangkan tiga kali lebih banyak (jika dibandingkan dengan TNI), seolah-olah kepolisian lebih “mengganggu” keseharian rakyat. Itu diperkuat dengan bot detection, yang mencatat percakapan mengenai Polri dominan human (39%), jenis postingan yang dilakukan oleh organic user.
Ada pun tiga isu utama yang meraih atensi tinggi netizen sekaligus menegaskan persepsi bahwa polisi sering gagal melindungi rakyat. Konten akun @NarasiNewsroom menjadi postingan yang paling banyak diretweet sebayak 3.368 kali, terkait isu kematian mahasiswa Unnes yang diduga meninggal karena dilempar benda tumpul, bukan karena kecelakaan. Selain itu, topik reformasi Polri juga ikut disorot. Postingan akun Ekspedisi Indonesia Baru @idbaruid menjadi top likes post di X yang berargumen bahwa polisi dan tentara semakin diperkuat perannya sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Selain itu, sorotan terhadap legitimasi Polri juga muncul dalam postingan yang membahas perubahan vonis dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup terhadap mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat. Isu ini kembali menyita atensi warganet melalui postingan @eradotid yang mencatat interaksi tertinggi di Instagram terkait Polri pada periode ini. Postingan tersebut kembali disorot warganet ketika DPR mengkritik hakim yang berencana menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo.
Angka-angka dan temuan di atas menyingkap satu hal: krisis legitimasi kepolisian kini menjadi perhatian utama rakyat. Alex Vitale, seorang sosiolog di Brooklyn College, dalam bukunya The End of Policing (2017), menulis bahwa institusi kepolisian hanyalah gejala dari masalah yang lebih besar. “Kita harus berhenti mendanai kepolisian yang kejam dan tidak efektif,” kata Vitale, “dan alih-alih mengarahkan uang itu untuk menyediakan layanan sosial yang dibutuhkan masyarakat yang kekurangan sumber daya”.
Dengan kata lain, untuk memahami pendanaan polisi, kita perlu melihat struktur kehidupan ekonomi dan politik yang lebih besar di Indonesia. Sebab, keputusan untuk menyerahkan masalah sosial kepada polisi adalah keputusan politik. Dalam bukunya Police for the Future (1994) David Bayley menulis, “Polisi tidak mencegah kejahatan. Ini adalah salah satu rahasia terbaik kehidupan modern. Para ahli mengetahuinya, polisi mengetahuinya, tetapi publik tidak mengetahuinya” (halaman 3).
Jika kritikan terhadap Polri cenderung bersifat struktural, sorotan terhadap TNI sedikit banyak dihubungkan dengan “citra kehormatan” tentara. Diketahui, dari 37.872 berita di media massa, topik yang menyumbang berita positif bagi TNI yakni Penanganan Banjir di Bali, Sertijab di Lingkup Satuan TNI, Rencana Pemberlakuan PAM Swakarsa, dan TNI Jaga Gedung DPR.
Sementara itu, sentiment negatif TNI berasal dari isu Keterlibatan Dua Prajurit Kopassus dalam Kasus Penculikan dan Pembunuhan Kepala Cabang BRI Cempaka Putih, Polemik Tim Siber TNI Laporkan Ferry Irwandi, Pembunuhan Personel TNI di Wonosobo, dan Polemik Revisi UU TNI.
Di media sosial, Socindex mencatat, sebanyak 7.608 percakapan berbentuk post yang diproduksi oleh 4.449 akun. Berdasarkan bot detection, perbincangan terkait TNI dominan cyborg (41%), jenis postingan yang dilakukan baik oleh human maupun robot. Hanya 29% postingan berkategori human atau dilakukan oleh organic user. Temuan ini mengindikasikan bahwa isu TNI relatif lebih banyak “dibentuk” atau “dikendalikan” oleh akun non-organik dibandingkan dengan percakapan terkait Polri yang berasal dari pengalaman langsung dan keresahan warganet.
Tercatat dua topik utama yang disorot warganet. Pertama, kasus keterlibatan prajutit TNI dalam pembunuhan Kacab BRI Cempaka Putih yang diposting oleh akun @intinyadeh. Selain muncul di media massa, di media sosial, konten tersebut merupakan popular post di X (Twitter), diretweet sebanyak 3.304 kali.
Kedua, Polemik Tim Siber TNI Laporkan Ferry Irwandi. Topik tersebut populer di X karena dipicu oleh postingan akun sosmed media massa Tempo @tempodotco terkait meluasnya operasi siber TNI ke ranah sipil, mencatatkan likes sebanyak 2.653. Argumen konten tersebut masih serupa dengan postingan Ferry Irwandi di Instagram yakni disukai sebanyak 515.369 kali.
Tak ketinggalan, konten dari @official.ntv di TikTok juga mencatat interaksi yang signifikan karena memuat video respon Pakar Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie yang menilai tindakan melaporkan Ferry justru merendahkan institusi TNI itu sendiri.
Diketahui, Tim Siber TNI Melaporkan YouTuber sekaligus founder Malaka Projek Ferry Irwandi ke Polda Metro Jaya. Dansatsiber Mabes TNI Juinta Omboh Sembiring menyebut bahwa pihaknya menemukan dugaan tindak pidana yang melibatkan Ferry. Namun tindakan itu dikritik oleh banyak pihak karena bertentangan dengan Putusan MK No 105/PUU-XXII/2024 pada 20 April lalu yang mengecualikan lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi dari pihak yang dapat mengadukan pasal pencemaran nama baik.
Amnesty Internasional bahkan menilai tindakan tersebut berpotensi mengaburkan batas antara tugas militer dan ranah sipil mengingat UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI khususnya pasal 7 ayat (2) angka 15 mengaskan bahwa TNI membantu dalam upaya ancaman pertahanan siber, bukan memerangi warga yang menyampaikan kritik.
Berdasarkan Social Network Analysis (SNA), terlihat bahwa akun personal yang paling banyak disebut warganet dalam percakapan mengenai Polri dan TNI adalah @Prabowo, disusul akun @Listyosigitp (Kapolri) dan @Jokowi. Di lain sisi, akun lembaga negara yang paling sering muncul dalam percakapan adalah @Divhumas_Polri, @Puspen_Tni, dan @Dpr_Ri.
Selain akun tokoh resmi, tampak juga sejumlah influencer yang cukup menonjol dalam diskusi, antara lain @Msaid_Didu, @Ds_Yantie, @Urrangawa, @Ch_Chotimah2, dan @Kangmanto123. Misalnya, @Msaid_Didu kerap disebut warganet ketika membicarakan usulan para purnawirawan TNI untuk melengserkan Gibran. Namun narasi tersebut segera ditandingi dengan konten apresiasi kinerja polri yang disebarkan menggunakan hastag #EvaluasiBukanReformasi Pertahankan Supremasi Sipil, terutama dari akun @blooming63.
Sementara itu, @Ds_Yantie banyak mendapat mention terkait isu mutasi dan rotasi 27 Jenderal Polri yang naik pangkat. Rotasi itu dicurigai oleh warganet sebagai Langkah untuk memperkuat “Termul” di jajaran kepolisian apabila terjadi pergantian Kapolri (link).
Adapun @Urrangawa muncul dalam percakapan ketika membahas pernyataan Mensesneg Prasetyo Hadi dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang menegaskan bahwa Presiden Prabowo tidak pernah mengirim surat presiden (surpres) terkait pergantian kapolri.
Pada 1998, setelah ambruknya Soeharto dari tampuk kekuasaan, rakyat menuntut dua hal besar terkait aparat: Pertama, TNI dipisahkan dari Polri dan kemudian lahirlah UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. Kedua, akhir dari Dwifungsi ABRI di mana tentara tidak boleh berpolitik dan fokus mengurus pertahanan.
Berdasarkan temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila pada 1998 rakyat lebih takut pada tentara maka sekarang rakyat lebih kritis dan curiga pada polisi. Ketakutan 1998 bersifat langsung dan brutal. Sementara curiga 2025 bersifat kompleks: tidak hanya soal kekerasan, tapi juga manipulasi politik, teknologi, dan citra. Disebut demikian karena Polri cenderung terseret dalam isu struktural (reformasi) sedangkan TNI terjebak dalam isu citra (prajurit kriminal dan operasi siber). Bedanya, isu Polri lebih bersifat sistemik dan jangka panjang, sedangkan isu TNI lebih sporadis tapi berbahaya karena menyentuh ranah sipil.
Riset ini juga menemukan bahwa publik tampak lebih percaya pada percakapan di media sosial ketimbang narasi media konvensional. Disebut demikian karena media massa cenderung menempatkan Polri sebagai wajah utama isu keamanan sedangkan media sosial menegaskan krisis legitimasi. Itu terlihat dari tingginya engagement dan peran influencer di media sosial. Dengan kata lain, mengutip Foucault, kuasa bukan hanya siapa yang memegang senjata tetapi siapa yang mengatur wacana. Dalam konteks ini, rakyat sedang berusaha mengambil kendali wacana melalui demonstrasi, media sosial, dan kritik terbuka.
Akhirnya, TNI dan Polri, meskipun penuh polemik, tetap menjadi bagian dari rumah bangsa. Tapi rumah itu akan runtuh bila para penghuninya saling menindas. Maka biarkan rakyat berbicara, biarkan demokrasi menjadi cermin, dan bukan ancaman. Karena bangsa yang sehat bukan bangsa yang diam, melainkan bangsa yang berani mendengar bahkan ketika yang lain belum sempat mengatakan apa-apa.
Penulis Hans Hayon (Newstensity), Ilustrasi: Aan K. Riyadi
MBG atau yang diketahui sebagai program Makanan Bergizi Gratis masih menjadi topik yang terus diperbincangkan oleh masyarakat. Agaknya selalu ada…
Gelombang demonstrasi massa sedang melanda seluruh Indonesia. Demo massa yang dimulai dari tanggal 25 Agustus ini, telah menyebar bagai api…
Di tengah dinamika politik yang sering dianggap kental dengan figur laki-laki, nama Endah Subekti Kuntariningsih mencuat setelah terpilih sebagai bupati…
Riuh suasana Pasar Gamping, DI Yogyakarta sudah mulai berkurang pagi itu. Beberapa los tampak kosong ditinggal pulang para pemiliknya yang…
Jakarta mendadak riuh pada 25 Agustus saat aksi masa yang menamakan diri “Revolusi Rakyat Indonesia” memadati halaman gedung DPR/MPR RI….
Program Kabinet Merah Putih tidak pernah gagal untuk menarik perhatian masyarakat. Salah satunya proyek penulisan ulang sejarah yang digagas oleh…
Tanggal 17 Agustus yang merupakan Hari Ulang Tahun RI menjadi hari yang menggembirakan bagi seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali para…
Awal Agustus 2025 menjadi bulan yang panas di Kabupaten Pati. Bukan karena suhu udara, tapi karena tensi politik yang meledak…
Film animasi Merah Putih: One for All diluncurkan pada bulan Agustus 2025, bersamaan dengan perayaan HUT ke-80 Indonesia dengan harapan…
Perdebatan mengenai kehadiran sound horeg atau sound karnaval muncul di tengah masyarakat, terutama setelah adanya fatwa haram terhadap sound horeg…