Siapa yang Benar? Menilik Berbagai Survei Kinerja Setahun Prabowo-Gibran
Tanggal 20 Oktober 2025 menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan Kabinet Merah…
Selama kurun waktu dua minggu terakhir, topik Robodog dan Humanoid Polri cukup masif diberitakan baik media cetak, online maupun elektronik. Berdasarkan dashboard Newstensity, dalam periode 24 Juni sampai dengan 8 Juli 2025 tercatat sebanyak 1.755 artikel berita, dengan puncak eksposur pada Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara, 1 Juli 2025 sejumlah 636 artikel.

Perhatian publik sontak terpusat ketika Polri resmi memperkenalkan Robodog dan Humanoid sebagai inovasi teknologi untuk mendukung pelaksanaan tugas di ruang publik. Dalam narasi resmi, kehadiran robot ini disebut sebagai simbol modernisasi kelembagaan, sejalan dengan tren kepolisian di negara-negara maju yang semakin mengandalkan perangkat cerdas untuk mendongkrak kinerja. Beberapa negara di kawasan ASEAN pun tercatat mulai mengadopsi pendekatan serupa, dengan dalih efisiensi dan penguatan pengawasan. Di Indonesia, robot berbentuk anjing dan humanoid ini telah diuji coba di kawasan car free day, bandara, hingga pusat layanan publik, dengan klaim mampu membantu patroli, memperluas jangkauan pengawasan, sekaligus mendukung pelayanan informasi kepada masyarakat. Namun di balik klaim futuristik tersebut, wajar jika publik menaruh tanda tanya: sejauh mana teknologi ini benar-benar relevan dan mendesak ditengah tantangan mendasar penegakan hukum yang masih menuntut pembenahan serius?
Melansir paparan Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, bahwa pada tahun 2030 ‘tubuh’ kepolisian di berbagai negara diproyeksikan akan didukung oleh robot-robot yang dinilai efektif untuk mendukung tugas operasional. Thailand, misalnya, telah memperkenalkan robot humanoidnya; Dubai secara resmi telah mendeklarasikan pemanfaatan robot untuk membantu berbagai tugas kepolisian; sementara Tiongkok telah melakukan uji coba robot polisi untuk patroli. Singapura bahkan mengembangkan ‘kecoak cyborg’ untuk mendukung operasi pencarian dan penyelamatan (search and rescue).

Thailand AI Police Cyborg

Robodog sendiri berfungsi serupa dengan unit K9, yakni untuk mendeteksi bahan atau benda berbahaya. Namun, robot ini dinilai lebih efisien karena tidak memerlukan perawatan makan harian, tidak membutuhkan pelatihan dengan tenaga pawang, serta mampu beroperasi dalam berbagai kondisi cuaca ekstrem. Sementara itu, robot humanoid dirancang untuk melakukan pemindaian (scanning), identifikasi biometrik, pengenalan wajah di area publik, hingga pemantauan jalur rawan pelanggaran lalu lintas. Teknologi serupa telah digunakan oleh Kepolisian Tiongkok untuk mendukung patroli, dan oleh Kepolisian Dubai untuk memberikan layanan publik seperti perpanjangan SIM.

Harapannya, ke depan robot-robot ini dapat difungsikan untuk pengawasan dan pemantauan di lokasi berbahaya, seperti gedung terbengkalai atau area bencana; penanganan situasi berisiko tinggi termasuk penjinakan bahan peledak dan penyanderaan; serta mendukung operasi pencarian dan penyelamatan korban bencana alam atau kebakaran. Secara umum, teknologi ini diharapkan dapat mengoptimalkan pelaksanaan tugas kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas), meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta mendukung penegakan hukum yang lebih presisi, humanis, transparan, dan akuntabel.
Sejumlah media arus utama mewartakan kehadiran teknologi ini sebagai langkah maju Polri dalam mewujudkan smart policing, sejalan dengan transformasi digital yang belakangan digaungkan banyak institusi pemerintah. Narasi modernisasi muncul dominan di pemberitaan Tempo, Kompas, Metro TV, hingga CNN Indonesia, yang menyoroti kecanggihan fitur, efisiensi, serta dampak keamanan yang diharapkan.

Sedangkan di jagad media sosial, ragam tanggapan warganet memperlihatkan dinamika yang menarik. Walau ada yang melontarkan pujian, tidak sedikit pula yang menanggapi dengan satir, sinisme, atau keraguan. Ledakan atensi ini menandakan bahwa debut Robodog dan Humanoid Polri memang berhasil memicu percakapan hangat, sekaligus memecah opini di ruang digital. Berdasarkan data pantauan Newstensity, pola sentimen memiliki variasi signifikan: di Twitter (X), percakapan didominasi nada positif (70%), dengan sebagian kecil netral (14%) dan selebihnya negatif (16%). Sementara di Tiktok, distribusi respons berimbang antara sentimen negatif (36%) dengan positif (36%), sisanya menggantung di ranah netral (28%).


Sentiment dengan Topik Robodog dan Humanoid Polri di platform Twitter dan Tiktok
Sementara itu, lanskap percakapan di platform lain menunjukkan pola yang semakin mengundang tanda tanya. Di Instagram, suara netral mendominasi (51%), sementara respons positif (15%) justru tertinggal jauh di belakang sentimen negatif (33%). Tren serupa tampak di Youtube, di mana dominasi nada netral (42%) berdampingan dengan tingginya sentimen negatif (41%), menyisakan hanya sedikit ruang untuk opini positif (16%). Facebook bahkan lebih kentara: hampir setengah percakapan bernada negatif (45%), disusul sentimen netral (42%), dan hanya 13% yang betul-betul menunjukkan dukungan (positif). Potret ini menegaskan bahwa di luar sorotan gemerlap pada panggung seremonial, kegaduhan digital justru memperlihatkan kegamangan publik, menyoal urgensi, manfaat riil, hingga potensi problem yang tersembunyi di balik kemasan modernitas yang tampak mewah.



Sentiment dengan Topik Robodog dan Humanoid Polri di platform Instagram, Youtube dan Facebook
Respons kritis warganet banyak menyorot persoalan pemborosan anggaran, ketepatan sasaran, dan urgensi kehadiran Robodog maupun Humanoid di tubuh Polri. Tak sedikit publik mempertanyakan rasionalitas belanja teknologi berbiaya tinggi di tengah deretan kebutuhan mendasar penegakan hukum yang masih luput pembenahan. Pertanyaan lebih jauh juga diarahkan pada efektivitas robot-robot ini: benarkah mereka mampu menjawab tantangan di lapangan, atau justru sekadar menjadi etalase modernisasi semu yang mengalihkan perhatian dari problem krusial seperti pembenahan kompetensi SDM, transparansi prosedur, dan penguatan infrastruktur pelayanan publik yang lebih mendesak?




Reaksi warganet di berbagai platform sosial media
Tidak sedikit pihak yang merespons kehadiran Robodog dan Humanoid Polri dengan sikap kritis sekaligus penuh harap. Kritik publik ini pada dasarnya berangkat dari harapan agar penerapan teknologi canggih semacam ini tidak berhenti sebagai simbol modernisasi semu, yang justru menutupi tantangan struktural kepolisian seperti perlunya reformasi birokrasi, penguatan transparansi, dan perbaikan integritas personel. Pertanyaan mendasar pun muncul terkait skema implementasi di lapangan, terutama bila robot-robot ini dilengkapi teknologi facial recognition, CCTV on-board, dan sistem pelacakan data yang berpotensi membuka ruang bagi praktik pengawasan massal (mass surveillance). Konsekuensinya, aktivitas, pola interaksi, hingga mobilitas masyarakat dapat terekam, disimpan, dan diolah menjadi big data intelligence yang rentan bias algoritma atau kesalahan identifikasi.
Dalam konteks ini, Robodog dan Humanoid pada dasarnya hanyalah instrumen kebijakan. Apabila kelak difungsikan untuk pengendalian kerumunan—termasuk pembubaran aksi demo—maka resiko penegakan hukum yang terlalu mekanis, kaku, bahkan dehumanisasi penanganan sipil patut menjadi perhatian serius. Sehingga fokus diskursus publik seharusnya tidak hanya tertuju pada keunggulan teknologinya, melainkan juga pada kesiapan infrastruktur pengawasan, mekanisme akuntabilitas data, serta jaminan payung etik dan regulasi yang memadai untuk mencegah penyalahgunaan di masa mendatang.
Dalam perspektif akademik, pemanfaatan teknologi untuk mendukung penegakan hukum umumnya dipahami sebagai bagian dari pendekatan Smart Policing (Ratcliffe, 2016). Meski demikian, sejumlah pakar tata kelola pemerintahan (governance) mengingatkan bahwa legitimasi teknologi semacam ini sepenuhnya bertumpu pada tingkat kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum (Suchman, 1995). Teori Institutional Isomorphism yang dikemukakan oleh DiMaggio dan Powell (1983) bahkan menyoroti potensi resiko birokrasi yang sekadar meniru praktik global tanpa menyesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika lokal. Di sisi lain, kajian tentang Responsible Innovation (Stilgoe et al., 2013) menekankan pentingnya aspek etika, perlindungan data pribadi, dan mekanisme mitigasi penyalahgunaan teknologi robotik yang dioperasikan di ruang publik. Tanpa kerangka kebijakan yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada perlindungan hak warga, teknologi canggih seperti Robodog dan Humanoid justru berpotensi membuka jalan bagi praktik pengawasan massal (mass surveillance) yang berlebihan, sekaligus melegitimasi pola penindakan yang represif dan berisiko mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Di banyak negara maju, penerapan robot anjing maupun humanoid memang bukan hal baru dalam mendukung tugas pengamanan publik. Namun praktik tersebut selalu dibarengi dengan mekanisme check and balance yang ketat, mulai dari audit independen, regulasi perlindungan privasi yang komprehensif, hingga ruang evaluasi publik yang transparan dan dapat diakses. Pendekatan semacam ini menjadi penopang penting agar modernisasi teknologi tidak sekadar menjadi simbol kemajuan, tetapi benar-benar memperkuat akuntabilitas lembaga penegak hukum di mata masyarakat. Tanpa kerangka pengawasan yang memadai, inovasi semaju apa pun berpotensi kehilangan legitimasi sosial dan memicu kecurigaan publik.
Dalam konteks Indonesia, titik tekan justru bukan hanya pada robotnya, melainkan pada bagaimana kepercayaan publik dibangun dan dijaga secara berkelanjutan. Tantangan paling mendasar terletak pada kesiapan infrastruktur pendukung, literasi teknologi personel di lapangan, hingga komitmen transparansi dalam tata kelola dan pemanfaatan data. Jika tidak diiringi dengan kebijakan yang berpihak pada perlindungan hak sipil, inovasi seperti Robodog dan Humanoid alih-alih menjawab persoalan mendasar penegakan hukum yang lebih manusiawi, akuntabel, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, justru dikhawatirkan hanya akan berakhir sebagai gimik modernitas. Pada akhirnya, modernisasi hanyalah sekadar kemasan jika tak diiringi pondasi kepercayaan publik, tata kelola yang transparan, dan keberanian institusi untuk menempatkan teknologi sebagai alat penguat pelayanan bukan sekadar hiasan di panggung citra.
Daftar Pustaka:
Penulis: Mustakim (Newstensity), Ilustrasi: Aan K. Riyadi
Tanggal 20 Oktober 2025 menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan Kabinet Merah…
Bagaimana jika makanan yang selama ini kita anggap aman ternyata membawa ancaman tak kasatmata? Di tengah panasnya isu makan bergizi…
Siang itu, sebuah nomor berdering di ponsel Purbaya Yudhi Sadewa yang masih menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lewat…
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto kembali menegaskan dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina dan implementasi solusi dua negara (two-state solution). Hal…
Setiap kali jika demonstrasi di Indonesia berujung ricuh, kepolisian hampir selalu menggunakan istilah “anarkistis” untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Kosakata ini…
Ketika perang saudara di Inggris tahun 1642-1651, filsuf Thomas Hobbes tinggal di Prancis, mengerjakan karya filosofisnya yang dikenal sebagai mahakarya…
MBG atau yang diketahui sebagai program Makanan Bergizi Gratis masih menjadi topik yang terus diperbincangkan oleh masyarakat. Agaknya selalu ada…
Gelombang demonstrasi massa sedang melanda seluruh Indonesia. Demo massa yang dimulai dari tanggal 25 Agustus ini, telah menyebar bagai api…
Di tengah dinamika politik yang sering dianggap kental dengan figur laki-laki, nama Endah Subekti Kuntariningsih mencuat setelah terpilih sebagai bupati…
Riuh suasana Pasar Gamping, DI Yogyakarta sudah mulai berkurang pagi itu. Beberapa los tampak kosong ditinggal pulang para pemiliknya yang…