Preloader
Binokular Hubungi Kami

Sengketa Empat Pulau: Ketika Batas Wilayah Memicu Ketegangan Aceh & Sumatera Utara

Aceh dan Sumatera Utara –dua provinsi yang bersebelahan— terlibat perselisihan dan meramaikan jagat pemberitaan dalam beberapa pekan terakhir. Perselisihan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) mencuat setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengatur tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau yang terbit pada 25 April 2025. Lewat keputusan ini Kemendagri memutuskan empat pulau di kawasan Aceh Singkil masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan alasan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ditetapkan menjadi bagian dari Sumut. Dalam penjelasannya penetapan empat pulau di Aceh Singkil menjadi bagian dari Sumut merupakan hasil proses panjang yang melibatkan berbagai instansi pusat, termasuk Badan Informasi Geospasial, Pusat Hidrografi TNI AL, dan Topografi TNI AD. Batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah telah disepakati oleh kedua belah pihak, akan tetapi batas lautnya tidak pernah mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, penentuan batas laut diserahkan kepada pemerintah pusat.

Berdasarkan hasil rapat tingkat pusat dan pertimbangan letak geografis berdasarkan tarikan batas wilayah darat, empat pulau tersebut masuk ke wilayah administrasi Sumut. Tito menyebutkan Kemendagri harus menetapkan batas wilayah empat pulau tersebut karena berkaitan dengan penamaan pulau yang harus didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Lebih lanjut, Tito menegaskan bahwa pemerintah pusat siap menerima masukan atau evaluasi terkait keputusan tersebut. Selain itu, pemerintah juga mempersilakan apabila ada pihak yang ingin menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menggugat penetapan empat pulau tersebut. Ia menekankan bahwa pemerintah tidak memiliki kepentingan pribadi dalam hal ini, selain menyelesaikan persoalan batas wilayah secara administratif.

Perubahan status Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang dari bagian Provinsi Aceh ke Sumatera oleh Kementerian Dalam Negeri pada akhirnya memicu gelombang protes dari masyarakat Aceh.

 

Protes dan Penolakan dari Masyarakat Aceh

Gelombang penolakan terhadap Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 terus terjadi dalam satu pekan terakhir. Keputusan ini membuat sebagian besar warga Aceh marah dan tidak terima. Sejumlah elemen masyarakat bergerak dan menyampaikan sikap, mulai dari nelayan, akademisi, politikus lokal hingga nasional.

Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya menghormati batas Aceh yang disepakati dalam perjanjian Helsinki. Suadi menilai penyerahan empat pulau ke Sumatera Utara sama saja menodai perjanjian damai Aceh dengan Indonesia. Ia juga menilai langkah tersebut berpotensi mengganggu stabilitas perdamaian di Aceh dan persatuan Indonesia, serta dapat memicu ketegangan antara Aceh dan Sumatera Utara. Sebagai mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka, Suadi menegaskan pentingnya menjaga keharmonisan antarwilayah.

Sementara itu, Gerakan Aliansi Nelayan Aceh Singkil (Ganas) turut melakukan penolakan dengan menggelar aksi memperjuangkan hak-hak nelayan Aceh Singkil pada Jumat, 13 Juni 2025. Ketua Lembaga Ganas, Rahmi Yasir mengatakan nelayan Aceh Singkil, akan mempertahankan wilayah perairan laut empat pulau ini sampai titik darah penghabisan. Selain itu, Ganas dengan tegas meminta Mendagri untuk mencabut keputusan pengalihan empat pulau tersebut. Ganas juga meminta Gubernur Aceh Muzakir Manaf agar menyampaikan secara tertulis surat keberatan dan penolakan yang ditujukan kepada Presiden dan Mendagri atas perubahan status empat pulau tersebut. Tak hanya itu, Ganas juga meminta Pemkab Aceh Singkil untuk menyampaikan secara tertulis keberatan dan penolakan kepada Mendagri dan Gubernur Aceh atas pengalihan empat pulau tersebut.

Pada hari dan tanggal yang sama, Persatuan Mahasiswa Aceh menggelar aksi di depan gedung Kementerian Dalam Negeri. Mahasiswa meminta pemerintah membatalkan keputusan Mendagri terkait penetapan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yang menjadi bagian wilayah Tapanuli Tengah, Sumut. Selain itu, mahasiswa menuntut Gubernur Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, seluruh anggota DPR RI dan anggota DPD RI asal Aceh agar tak berdiam diri menyikapi penetapan tersebut. Mereka juga mendesak Presiden segera mencopot Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA, karena keduanya dianggap sebagai pihak paling bertanggung jawab. Persatuan Mahasiswa Aceh menilai bahwa penetapan empat pulau tersebut merupakan keputusan yang berpotensi memicu ketegangan baru.

Gelombang aksi protes juga terjadi di Aceh. Senin, 16 Juni 2025, ratusan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi yang mengatasnamakan Gerakan Aceh Melawan melakukan aksi damai di depan Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh. Mereka membawa sejumlah atribut spanduk, antara lain bertuliskan ”Aceh Melawan” dan ”Referendum”, serta bendera merah bergambar bulan bintang putih dengan garis tepi putih hitam di bagian bawah dan atas bendera.

Dalam orasinya, mahasiswa mendesak pemerintah pusat untuk meninjau kembali keputusan tersebut. Mereka meyakini bahwa Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan merupakan bagian dari Aceh. Massa aksi menyampaikan bahwa masyarakat Aceh selama ini berkomitmen menjaga perdamaian, dan keputusan pengalihan empat pulau itu dikhawatirkan bisa memicu ketegangan baru. Mereka menilai keputusan tersebut melukai perasaan masyarakat Aceh. Selain menuntut pencabutan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, mereka juga menuntut agar Presiden Prabowo Subianto mencopot Tito Karnavian dari jabatannya sebagai Mendagri karena dinilai memperkeruh suasana.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Aceh menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak yang secara sah menjadi milik Aceh. Hal ini diungkapkan oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem setelah rapat bersama dengan DPR Aceh, Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh, Bupati Aceh Singkil, Ulama hingga akademisi Aceh, terkait penyelesaian permasalahan empat pulau di Aceh Singkil tersebut.

Dalam rapat itu disepakati tiga langkah yang bakal ditempuh untuk menyelesaikan sengketa pulau itu. Langkah tersebut adalah secara kekeluargaan, administratif, dan politis. Selain itu, kesepakatan rapat bersama malam ini juga memutuskan bahwa Aceh tidak bakal membawa masalah pulau tersebut ke ranah pengadilan, dalam hal ini menggugat Keputusan Menteri Dalam Negeri ke PTUN (pengadilan tata usaha negara). Mualem menuturkan, rapat malam itu juga sudah menetapkan surat keberatan kepada Mendagri Tito Karnavian terkait keputusan yang memberikan pulau Aceh itu kepada Sumut.

Di tengah memanasnya protes dan penolakan dari berbagai kalangan di Aceh, muncul isu yang semakin memperkeruh polemik ini. Bukan sekadar soal batas administratif, sejumlah pihak mulai menyoroti adanya dugaan kepentingan politik dan bisnis yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Dugaan ini mencuat seiring informasi mengenai potensi cadangan minyak dan gas bumi (migas) di wilayah perairan sekitar empat pulau itu.

 

Mencuatnya Isu Cadangan Migas

Keputusan yang diterbitkan Kemendagri pada 25 April 2025 tersebut dinilai banyak pihak bukan semata-mata urusan administrasi wilayah. Ada anggapan bahwa keputusan itu sarat muatan kepentingan politik dan bisnis. Dugaan itu mencuat seiring beredarnya informasi mengenai potensi sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi (migas) yang terkandung di wilayah perairan sekitar empat pulau tersebut. Isu ini bukan tanpa alasan. Wilayah perairan barat Indonesia, termasuk kawasan sekitar Aceh Singkil, memang sejak lama dikenal memiliki potensi cadangan migas. Keputusan pemerintah pusat yang mendadak memindahkan empat pulau itu ke Sumut kemudian memicu spekulasi bahwa terdapat agenda tersembunyi terkait pengelolaan sumber daya alam di kawasan tersebut.

Kecurigaan publik semakin menguat setelah Gubernur Sumut Utara, Bobby Nasution, secara terbuka menyampaikan ajakan kepada Pemerintah Aceh untuk berkolaborasi dalam pengelolaan potensi migas empat pulau tersebut. Pernyataan Bobby itu justru semakin menambah kecurigaan bahwa pengalihan wilayah ini tidak lepas dari pertimbangan ekonomi dan bisnis. Hal ini juga diperkuat pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang mengungkapkan  bahwa empat pulau yang saat ini menjadi sumber sengketa memiliki potensi sumber daya alam berupa energi dan gas bumi. Menurut Mualem, potensi cadangan gas bumi yang terdapat di kawasan empat pulau tersebut diperkirakan sebanding dengan kandungan migas yang terdapat di Blok Andaman.

Mengenai adanya potensi migas di perairan Aceh, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pernah melaporkan hal tersebut pada Jumat, 22 Juli 2022. Potensi itu berada di Wilayah Kerja (WK) Andaman yang terdiri dari tiga blok, yaitu Andaman I yang saat itu dikelola Mubadala Petroleum, Andaman II oleh Premier Oil, dan Andaman III oleh Repsol.

Sementara itu, Badan Pengelolaan Migas Aceh mengatakan empat pulau yang menjadi sengketa belum pasti memiliki kandungan minyak dan gas yang ekonomis. Kepala BPMA Nasri Jalal mengatakan keempat pulau tersebut tidak termasuk kedalam Wilayah Kerja (WK) Offshore West Aceh (OSWA) yang merupakan WK terdekat yang berada dalam kewenangan BPMA. Nasri menyebut BPMA mendorong adanya survei awal dan akuisisi data seismik agar potensi migas bisa diidentifikasi lebih jelas. Prinsip keberlanjutan dan konservasi tetap menjadi dasar dalam setiap langkah pengelolaan sumber daya.

Merespons isu liar soal potensi cadangan migas di wilayah sengketa empat pulau tersebut, Kemendagri melalui Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal Zakaria Ali mengatakan tidak memiliki informasi soal potensi kandungan minyak dan gas bumi (migas) di empat pulau yang tengah diperebutkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumut. Tim Nasional Pembakuan Rupabumi hanya bekerja berdasarkan aspek spasial dan administrasi wilayah. Menurut Safrizal, potensi migas tidak pernah masuk dalam konsideran penetapan status wilayah administrasi. Ia menegaskan, kewenangan perihal pertambangan dan eksplorasi sumber daya alam berada di tangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selain itu, istana melalui Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Hasbi juga memberikan respons soal isu cadangan migas di wilayah sengketa tersebut. Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Hasbi menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada data resmi yang mendukung klaim atas kandungan migas pada empat pulau yang berdekatan dengan wilayah kerja (WK) migas Offshore West Aceh (OSWA) yang berada dalam kewenangan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Di luar dugaan adanya potensi migas, kawasan empat pulau yang tengah disengketakan juga menyimpan kekayaan sumber daya alam lainnya. Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala (USK), Ahmad Humam Hamid, menyebut bahwa keempat pulau tersebut memiliki nilai strategis, baik dari segi sumber daya alam, letak geografis, maupun prospek ekonomi-politik ke depan. Selain potensi alam, sejumlah pakar juga menyoroti peluang pengembangan sektor pariwisata di kawasan tersebut.

Humam menjelaskan, secara geografis, posisi empat pulau tersebut berada di kawasan perairan yang cukup aktif, menjadi bagian dari jalur pelayaran regional di pesisir barat Sumatra. Jalur ini bukan hanya penting bagi aktivitas nelayan setempat, tetapi juga menjadi bagian dari lintasan perdagangan dan mobilitas maritim yang bernilai strategis. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa berdasarkan sejumlah laporan teknis kelautan, wilayah tersebut juga teridentifikasi sebagai bagian dari koridor keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity corridor) yang masih relatif terjaga kelestariannya. Menurutnya, kondisi ini menjadikan kawasan tersebut memiliki nilai penting, baik dari sisi ekologi maupun potensi ekonomi jangka panjang.

Selain itu, potensi pariwisata di empat pulau tersebut juga dinilai cukup besar. Hal ini disampaikan oleh akademisi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Muhammad Alkaf. Ia mengatakan, empat pulau yang diperebutkan itu memiliki daya tarik visual yang, jika dilihat dari kejauhan, mirip dengan lanskap di perbatasan antara Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Potensi wisata ini, menurut Alkaf, sangat menjanjikan untuk dikembangkan lebih lanjut.

Alkaf juga mengingatkan bahwa pada 2021, sempat ada penjajakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Uni Emirat Arab (UEA) dalam pengembangan sektor pariwisata di Aceh Singkil. Upaya ini dilakukan melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang saat itu dipimpin oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Sayangnya, perjanjian kerja sama tersebut gagal di tengah jalan karena berbagai faktor.

 

Upaya Penyelesaian Sengketa

Di tengah berbagai dinamika dan isu yang berkembang, upaya penyelesaian sengketa empat pulau terus dilakukan oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah. Salah satu langkah awal ditempuh oleh Gubernur Sumut, Bobby Nasution, yang berinisiatif menemui Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, di pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh, pada Rabu, 4 Juni 2025. Dalam pertemuan tersebut, Bobby didampingi Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, untuk berdialog langsung membahas persoalan status empat pulau yang menjadi sengketa. Namun, langkah awal tersebut belum sepenuhnya berhasil meredam polemik di masyarakat.

Melihat situasi yang terus memanas, pemerintah pusat mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan persoalan ini. Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung dengan mengambil alih proses penyelesaian sengketa. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa keputusan untuk menyelesaikan polemik empat pulau itu merupakan hasil komunikasi antara Presiden dan DPR.

Akhirnya, pemerintah secara resmi menetapkan bahwa empat pulau yang disengketakan menjadi bagian dari wilayah administrasi Provinsi Aceh. Keputusan tersebut diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi dalam konferensi pers yang digelar di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2025. Dalam konferensi pers tersebut hadir pula Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Sumut Bobby Nasution, serta Gubernur Aceh Muzakir Manaf.

Prasetyo menjelaskan bahwa keputusan ini diambil setelah pemerintah menggelar rapat terbatas guna membahas secara khusus penyelesaian sengketa atas empat pulau, yakni Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

 

Riuh di Media Sosial

Polemik sengketa empat pulau Aceh dan Sumut menggema di media sosial X. Taggar “Aceh” dan #BobbyPencuriPulauAceh sempat menduduki trending topic X di Indonesia. Banyak warganet yang mengkritik Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang awalnya menetapkan keempat pulau sebagai bagian dari Sumut.

Grafik 1. Statistik X terkait isu “Sengketa Empat Pulau” periode 01– 18 Juni 2025. (Sumber : Socindex)

 

Dibantu alat big data Socindex, Jangkara Data Lab memantau percakapan di X menggunakan keyword “Sengketa Empat Pulau”, “Aceh”, dan #BobbyPencuriPulauAceh. Selama pemantauan 01-18 Juni 2025, Socindex memperlihatkan ada 43.335 talk atau percakapan. Jumlah cuitan tersebut meraup 1.250.835 engagement, 950.357 applause, 3.609.791 audience, dan berpotensi untuk lewat di linimasa 170 juta akun (buzz reach).

Grafik 2. Linimasa Percakapan  X terkait isu “Sengketa Empat Pulau” periode 01– 18 Juni 2025. (Sumber : Socindex)

 

Percakapan di media sosial X mencapai puncaknya pada 17 Juni 2025. Dengan topik yang paling banyak dibicarakan terkait hasil keputusan pemerintah yang mengembalikan 4 pulau yang disengketakan masuk ke wilayah administratif Provinsi Aceh.

Grafik 3. Sentimen Percakapan  X terkait isu “Sengketa Empat Pulau” periode 01– 18 Juni 2025. (Sumber : Socindex)

Sentimen warganet terhadap isu sengketa empat pulau sangat beragam. Dari grafik Socindex, cuitan negatif terus mengalami kenaikan sejak tanggal 10-16 Juni 2025. Sementara sentimen positif mengalami lonjakan yang signifikan pada tanggal 17 Juni 2025. Mayoritas sentimen negatif dari kritikan warganet terkait Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025. Selain itu, sikap tegas masyarakat aceh bahwa keempat pulau tersebut adalah bagian dari aceh, serta kecurigan terhadap motif politik dan kepentingan ekonomi. Sementara sentimen positif, terkait dengan apresiasi warganet terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mengembalikan empat pulau tersebut kedalam wilayah administratif Provinsi Aceh.

Gambar 1. Tangkapan layar cuitan warganet soal kritik “Sengketa Empat Pulau”.(Sumber : Socindex)

 

Isu sengketa empat pulau ini tidak hanya ramai di perbincangkan di media sosial X, isu ini turut menjadi perhatian media massa baik online, cetak, maupun elektronik. Dengan menggunakan Newstensity, Jangkara Data Lab memantau pemberitaan terkait isu ini selama 01-18 Juni 2025 dengan kata kunci “Aceh”, “4 Pulau” , dan “Empat Pulau”. Terpantau ada 11.163 pemberitaan.

Grafik 4. Linimasa pemberitaan topik “Sengketa Empat Pulau” periode 01-18 Juni 2025. (Sumber : Newstensity)

Puncak pemberitaan terjadi pada tanggal 17 Juni 2025 dengan topik paling banyak diberitakan soal keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mengembalikan empat pulau yang disengketakan masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Aceh.

Grafik 5. Grafik top media topik “Sengketa Empat Pulau” periode 01-18 Juni 2025. (Sumber : Newstensity)

 

Media daerah Aceh aceh.tribunnews.com menjadi media paling banyak memberitakan sengketa empat pulau dengan 254 pemberitaan. Diikuti media nasional Kompas.com dengan 247 pemberitaan, iNewsTV dengan 180 pemberitaan, Metro TV dengan 162 pemberitaan, dan Detik.com dengan 158 pemberitaan.

Grafik 6. Grafik Entitas topik “Sengketa Empat Pulau” periode 01-18 Juni 2025. (Sumber : Newstensity)

 

Presiden Prabowo Subianto menjadi entitas yang paling banyak disebutkan dalam pemberitaan soal sengketa empat pulau. Disusul oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumut Bobby Nasution, dan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.

 

Epilog

Kasus sengketa empat pulau ini menjadi pelajaran pahit tentang buruknya tata kelola administrasi wilayah di Indonesia. Keputusan Mendagri yang tergesa dan minim komunikasi publik justru memicu gejolak karena dituding sarat kepentingan politik dan bisnis. Isu cadangan migas menambah kuat kecurigaan bahwa keputusan itu bukan semata soal batas wilayah. Konflik ini menunjukkan bahwa kebijakan administratif bisa berubah menjadi ancaman stabilitas jika dibuat tanpa transparansi.

 

Penulis: Catur Noviantoro (jangkara.id), Ilustrasi: Aan K Riyadi

Other Analysis

#SaveRajaAmpat: Bahu Membahu Menyelamatkan Surga Kecil di Bumi

Sejak awal Juni, tekanan publik terhadap tambang nikel di Raja Ampat kembali mencuat, terutama setelah aksi Greenpeace pada konferensi energi…

GRIB Jaya: Premanisme Berbalut Ormas

Jika ada isu yang paling ramai dibicarakan media belakangan ini, ormas atau organisasi masyarakat bisa jadi salah satunya. Amplifikasi pemberitaan…

Pendidikan Karakter di Barak Militer ala KDM: Solusi atau Ilusi?

Minggu, 18 Mei 2025 suasana haru menyelimuti upacara penyerahan 39 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang telah menyelesaikan Program Pendidikan…

Mengapa Media Monitoring Penting

Era awal tahun 2000-an, saat saya menjadi jurnalis di sebuah media, setiap hari saya menyaksikan bagaimana staf kantor satu kementerian…

Pentingnya Menjaga Reputasi Brand untuk Bisnis

Nilai suatu brand menjadi satu elemen yang sangat penting dari satu bisnis. Perusahaan kini berlomba-lomba menginvestasikan dana yang tidak sedikit,…