Preloader
Binokular Hubungi Kami
Testimoni

17+8 Tuntutan Rakyat: Sebuah Pekerjaan Rumah Untuk Negara

Gelombang demonstrasi massa sedang melanda seluruh Indonesia. Demo massa yang dimulai dari tanggal 25 Agustus ini, telah menyebar bagai api yang menyambar gubuk derita. Bagai api yang tak berasap, aksi ini diam-diam menyulut keresahan, lalu meledak menjadi gelombang perlawanan. Bagaimana tidak, di saat ekonomi sedang porak-poranda, para dewan yang terhormat dengan bangga menaikkan tunjangan mereka.

Kenaikan tunjangan DPR inilah yang menjadi bara utama dibalik gejolak massa di Jakarta. Kebijakan yang lahir di tengah krisis ekonomi itu dianggap tidak memiliki empati pada keadaan masyarakat saat ini. Tidak heran jika sejak 25 Agustus 2025, ribuan orang turun ke jalan, menyalakan amarah kolektif yang menjalar ke berbagai sudut kota.

Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, hingga 2 September 2025  sudah terjadi sekitar 107 aksi unjuk rasa di 32 provinsi. Angka tersebut jelas menunjukkan betapa luasnya gelombang protes yang tengah berlangsung di negara ini. Dampaknya jelas terasa di dunia nyata, jalanan macet bukan karena jam pulang kerja, tapi karena ribuan manusia sedang menyuarakan aspirasi mereka.

Serangkaian demonstrasi massa ini bukan hanya aksi teriak-teriak di jalanan saja. Demonstrasi ini adalah puncak dari unek-unek dan keresahan masyarakat yang akhirnya meledak juga. Rakyat diminta membayar pajak, iuran, dan menerima efisiensi, tetapi di sisi lain pemerintah tampak tak begitu peduli. Jumlah kementerian bertambah, jabatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dibiarkan gemuk, serta gaji dan tunjangan pejabat maupun anggota Dewan Perwakilan rakyat (DPR) justru dinaikkan. Semua keresahan itu mengeras jadi satu: jadi teriakan, jadi gerakan, dan jadi massa di jalanan.

Demonstrasi kali ini jauh berbeda dengan demonstrasi yang ada sebelumnya. Demo kali ini terasa jauh lebih besar, lebih mencekam dan lebih bergaung.  Gaung itu tak hanya terdengar di pusat kota, tapi juga merambat sampai ke ranah dunia maya. Demo di jalanan memang penuh, tapi dunia digital justru semakin riuh. Twitter/X dijejali tagar protes, TikTok dibanjiri video aksi, dan Instagram menjadi galeri infografis tuntutan. Aksi di lapangan dan digital saling menopang, menciptakan tekanan sosial-politik yang sulit diabaikan.

17 + 8 Tuntutan Rakyat

Dari gelombang demonstrasi yang terus mengalir sejak akhir Agustus itu, lahirlah serangkaian tuntutan yang kemudian dikumpulkan dan dirangkum dengan nama ’17+8 Tuntutan Rakyat: Transparansi, Reformasi, Empati’. Angka 17+8 melambangkan Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 dan bulan 8. Tuntutan ini lahir dari kekecewaan, jeritan rakyat atas ketidakadilan, soal perut, soal kebijakan, hingga negara yang penuh kesemrawutan.

Tuntutan ini muncul setelah diskusi online yang dilakukan beberapa influencer seperti Jerome Polin, Salsa Erwina Hutagalung, Andovi Dalopez, Abigail Limuria, Fathia Izzati dan Andhyta Firselly Utami. Mereka merangkum tuntutan dari berbagai organisasi dan suara rakyat yang kemudian menghasilkan “17+8 Tuntutan Rakyat”.

Tuntutan ini berasal dari berbagai organisasi, seperti YLBHI yang menghimpun aspirasi dari 211 organisasi masyarakat sipil, siaran pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pernyataan sikap Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI, dan Center for Environmental Law & Climate Justice Universitas Indonesia. Selain dari organisasi, mereka juga memasukkan tuntutan demo buruh pada 28 Agustus 2025 dan 12 tuntutan rakyat menuju reformasi Transparansi & Keadilan oleh Reformasi Indonesia di Change.org.

Tuntutan rakyat ini mulai ramai di media sosial ditandai dengan penggunaan simbol warna Brave Pink dan Hero Green. Kedua simbol warna ini mewakili Ibu Ana, seorang demonstran berjilbab warna pink yang berdiri di depan barisan polisi, dan Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob.

Rincian Tuntutan Rakyat

Dalam tuntutan ini terdapat 17 tuntutan jangka pendek dengan tenggat waktu 5 September 2025 dan 8 tuntutan jangka panjang dengan tenggat waktu 31 Agustus 2026. 17 Tuntutan jangka pendek diarahkan kepada empat institusi utama yakni Presiden Prabowo, DPR, kepolisian, dan TNI. Tenggat waktu pemenuhan tuntutan ini dipatok hingga 5 September 2025, menandai bahwa publik tidak sekadar turun ke jalan untuk berteriak, tapi juga menuntut langkah nyata dalam waktu cepat.

Kepada Presiden Prabowo, publik mendesak penarikan TNI dari pengamanan sipil, penghentian kriminalisasi demonstran, dan pembentukan tim investigasi independen atas jatuhnya korban, termasuk Affan dan Umar Amarudin. 

Kepada DPR, masyarakat menuntut pembatalan kenaikan tunjangan, transparansi anggaran, serta pemeriksaan anggota yang bermasalah. Tak hanya itu, partai politik juga didesak menunjukkan keberpihakan nyata pada rakyat, termasuk dengan membuka ruang dialog bersama mahasiswa dan masyarakat sipil.

Kepolisian pun tak luput dari sorotan. Publik menuntut pembebasan seluruh demonstran, penghentian praktik represif di lapangan, serta pemrosesan hukum terhadap aparat yang terbukti melanggar HAM. Sementara kepada TNI, demonstran mendesak agar TNI kembali ke barak, menjaga disiplin internal, serta menjauhkan diri dari urusan sipil. Di tengah krisis demokrasi, campur tangan militer dalam kehidupan sipil dianggap sebagai ancaman serius yang harus segera dihentikan.

Tak hanya soal politik dan keamanan, tuntutan juga menyinggung aspek ekonomi. Pemerintah diminta memastikan upah layak bagi buruh, guru, tenaga kesehatan, hingga mitra ojol. Di samping itu, pencegahan PHK massal dan dialog serius dengan serikat pekerja dianggap sebagai langkah penting untuk meredam keresahan rakyat yang kian meluas.

Selain 17 tuntutan jangka pendek, massa aksi juga merumuskan 8 tuntutan jangka panjang. Jika tuntutan jangka pendek menitikberatkan pada langkah-langkah cepat, maka delapan poin ini menyoroti pembenahan mendasar yang dianggap perlu demi menyelamatkan arah demokrasi dan masa depan bangsa.

  • Bersihkan dan Reformasi DPR Besar-Besaran: Audit independen, tolak eks-koruptor, naikkan standar, hapus privilese seperti pensiun seumur hidup & pajak ditanggung negara.
  • Reformasi Partai Politik dan Penguatan Fungsi Oposisi: Partai wajib mempublikasi laporan keuangan dan DPR memastikan oposisi berfungsi efektif.
  • Reformasi Sistem Perpajakan: Menyusun kebijakan perpajakan yang lebih adil dan tidak membebani rakyat.
  • Sahkan dan Tegakkan UU Perampasan Aset Koruptor: Disahkan dalam masa sidang tahun ini, disertai penguatan KPK dan UU Tipikor.
  • Reformasi Kepemimpinan & Sistem Kepolisian: Revisi UU Polri, desentralisasi fungsi, dan profesionalisasi institusi.
  • TNI Kembali ke Barak, Tanpa Pengecualian: Cabut mandat keterlibatan TNI dalam proyek sipil seperti food estate, dan revisi UU TNI.
  • Perkuat Komnas HAM dan Lembaga Pengawasan Independen: Perluas kewenangan dan kemandirian Komnas HAM serta Ombudsman.
  • Tinjau Ulang Kebijakan Ekonomi & Ketenagakerjaan: Evaluasi UU Cipta Kerja, PSN, dan BUMN yang berdampak pada rakyat dan lingkungan.

Dinamika di Media Sosial

Unjuk rasa terkait tuntutan rakyat ini tidak hanya ramai di lapangan, tetapi ramai juga di media sosial. Melalui alat media sosial monitoring berbasis big data Socindex, kami memantau percakapan warganet sejak 28 Agustus hingga 8 September 2025. Hasilnya, tercatat 832.925 percakapan di lima platform media sosial (X, Instagram, Facebook, YouTube, dan TikTok) dengan kata kunci “17+8” dan “Tuntutan Rakyat”.

Berdasarkan data yang kami himpun, Engagement tertinggi justru datang dari akun-akun influencer besar di Instagram. Nama-nama seperti Jerome Polin dan Jovial da Lopez muncul sebagai motor penggerak, dengan unggahan mereka masing-masing meraih engagement lebih dari 1 juta engagement yang merupakan gabungan dari like, komen dan share.

Di platform Twitter/X, gema tuntutan rakyat semakin kuat lewat gelombang keyword dan tagar. Keyword DPR dan 17+8 menjadi keyword populer selama beberapa hari terakhir. Percakapan publik juga ramai dibarengi tagar lain seperti #ResetIndonesia dan #WargaJagaWarga.

Tagar #ResetIndonesia menjadi wadah aspirasi bagi mereka yang ingin menegaskan perlunya perombakan mendasar dalam tata kelola negara. Isinya tak hanya soal tuntutan 25 poin, tapi juga gagasan besar tentang reformasi politik, ekonomi, hingga penegakan hukum yang dianggap makin jauh dari rakyat.

Sementara itu, tagar #WargaJagaWarga lahir sebagai bentuk solidaritas horizontal antarwarga. Di tengah represif aparat, banyak warganet menggunakan tagar ini untuk berbagi informasi lapangan, mengorganisir bantuan logistik bagi demonstran, hingga menyebarkan hotline bantuan hukum.

Respon Pemerintah dan Elit Politik

Gelombang demonstrasi yang menuntut perubahan akhirnya mulai direspons oleh pemerintah dan elit politik. Desakan rakyat melalui “17+8 Tuntutan” tidak lagi bisa dianggap sekadar suara jalanan. Tekanan sosial-politik yang menguat, baik di lapangan maupun di dunia digital, memaksa pemerintah bergerak cepat meski tidak semua tuntutan bisa langsung terpenuhi.

Pada hari Kamis, 4 September 2025 DPR RI secara resmi mengumumkan enam keputusan dalam menjawab tuntutan rakyat. Pernyataan ini disampaikan merespons aksi demonstrasi pada beberapa hari belakangan. Pertama, tunjangan perumahan untuk anggota DPR dihentikan sejak 31 Agustus 2025. Kedua, kunjungan kerja luar negeri dimoratorium, kecuali undangan resmi negara, berlaku mulai 1 September. Ketiga, fasilitas tunjangan dievaluasi dan dipangkas, termasuk listrik, telepon, dan transportasi. Keempat, hak keuangan anggota DPR yang dinonaktifkan partai dibekukan. Kelima, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dilibatkan untuk menindak anggota bermasalah. Dan keenam, komitmen untuk memperkuat transparansi dan partisipasi publik di setiap proses legislatif dan kebijakan DPR.

Pada hari Minggu, 8 September 2025. Presiden Prabowo menggambil langkah mengejutkan dengan melakukan Reshuffle kabinet dalam pemerintahannya. Pergantian paling mencolok adalah digantinya Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan menteri baru yakni Purbaya Yudhi Sadewa. Hari pertama menjabat, Purbaya Yudhi Sadewa langsung mengeluarkan kalimat tentang tuntutan 17+8 yang menjadi sorotan.

Itu suara sebagian kecil rakyat kita… nanti kalau ekonomi tumbuh 6–7 persen, mereka akan sibuk kerja dan makan enak dibandingkan mendemo.” –Purbaya Yudhi Sadewa

Pernyataan yang mungkin dimaksudkan untuk menenangkan justru berbuntut panjang. Kalimat singkat tentang “sebagian kecil rakyat” itu terdengar minim empati, bahkan terkesan menantang. Alih-alih meredakan, ucapan itu justru memantik amarah baru. Banyak warganet yang menangkap pernyataan tersebut sebagai upaya untuk menarik demo yang lebih besar lagi.

Reaksi warganet pun meledak. Mereka menolak keras diposisikan sebagai “kecil”, menolak dikerdilkan, dan menolak diremehkan. Bagi mereka, yang turun ke jalan bukanlah segelintir orang saja, melainkan ada mahasiswa, buruh, petani, pengemudi ojek daring, hingga masyarakat miskin kota. Menyebut keresahan mereka sebagai “sebagian kecil” sama saja dengan menutup mata terhadap ketidakadilan yang mereka alami.

Seperti dua sisi mata pisau, selalu ada dua sudut pandang yang berseberangan. Di tengah kritikan terhadap pernyataan menteri keuangan, banyak pula warganet yang tampil membela di media sosial. Mereka beranggapan bahwa pernyataan tersebut bukan meremehkan, melainkan sebuah bentuk optimisme bahwa kondisi akan segera membaik. Mereka melihat kata-kata tersebut sebagai upaya untuk menenangkan masyarakat di tengah gejolak ekonomi, dan bukan sebagai bentuk pengabaian terhadap keluhan rakyat.

Menyadari kesalahannya, Menteri Keuangan Purbaya kemudian memberikan klarifikasi dan permintaan maaf, Ia menjelaskan bahwa maksudnya bukan meremehkan aspirasi rakyat. Ia menekankan bahwa pemerintah akan memulihkan kondisi ekonomi dan berupaya menambah lapangan kerja sebagai langkah konkret untuk merespons keresahan publik.

Epilog

Meski beberapa langkah DPR sempat dianggap sebagai angin segar, tetapi publik belum sepenuhnya puas. Kritik tetap bergulir dan tuntutan masih tetap dikawal. Rakyat masih menunggu langkah nyata terkait tuntutan yang lebih substansial, mulai dari penghentian kriminalisasi demonstran, transparansi anggaran negara, hingga perombakan serius dalam relasi sipil-militer. Di luar gedung Senayan, suara warganet terus mendesak. Tagar #ResetIndonesia dan #WargaJagaWarga masih bertengger di platform Twitter/X, menandakan bahwa gejolak ini tak mereda meski ada konsesi kecil dari DPR.

Di tengah semua itu, blunder Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa soal “sebagian kecil rakyat” menjadi katalis tambahan. Alih-alih meredakan ketegangan, pernyataannya memantik gelombang kritik baru. Warganet menegaskan bahwa yang turun ke jalan bukanlah segelintir orang, melainkan lapisan masyarakat yang paling terdampak kesenjangan dan tekanan ekonomi.  Permintaan maaf Menkeu pun tak langsung menenangkan. Masyarakat dan warganet tetap menunggu langkah nyata, bukan hanya kata-kata.

Jika suara rakyat benar-benar jadi suara Tuhan, maka 17+8 Tuntutan Rakyat adalah doa panjang yang bergaung di jalanan dan di dunia digital. Tinggal menunggu, apakah doa itu akan dijawab dengan perubahan nyata, atau hanya dibiarkan jadi gema yang hilang ditelan rutinitas kekuasaan.

Penulis: Afandi (Socindex), Ilustrasi: Aan K. Riyadi

Analisis Lainnya

Siapa yang Benar? Menilik Berbagai Survei Kinerja Setahun Prabowo-Gibran

Tanggal 20 Oktober 2025 menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan Kabinet Merah…

Dampak Senyap dari Udang Beku Cikande

Bagaimana jika makanan yang selama ini kita anggap aman ternyata membawa ancaman tak kasatmata? Di tengah panasnya isu makan bergizi…

Konversi Kritik Menjadi Dukungan ala Purbaya

Siang itu, sebuah nomor berdering di ponsel Purbaya Yudhi Sadewa yang masih menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lewat…

Membaca Ulang Pidato Kontroversial Prabowo di PBB tentang Palestina

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto kembali menegaskan dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina dan implementasi solusi dua negara (two-state solution). Hal…

Gagal Paham Negara Soal Anarkisme: Dari Stigma “Anarkistis” hingga Kriminalisasi Buku 

Setiap kali jika demonstrasi di Indonesia berujung ricuh, kepolisian hampir selalu menggunakan istilah “anarkistis” untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Kosakata ini…

Kinerja TNI-Polri dan Evolusi Ketakutan Sipil

Ketika perang saudara di Inggris tahun 1642-1651, filsuf Thomas Hobbes tinggal di Prancis, mengerjakan karya filosofisnya yang dikenal sebagai mahakarya…

Pantang Mundur MBG di Tengah Banjir Kritikan dan Keracunan Massal

MBG atau yang diketahui sebagai program Makanan Bergizi Gratis masih menjadi topik yang terus diperbincangkan oleh masyarakat. Agaknya selalu ada…

Politikus Perempuan PDIP di DIY, Siapa Paling Populer?

Di tengah dinamika politik yang sering dianggap kental dengan figur laki-laki, nama Endah Subekti Kuntariningsih mencuat setelah terpilih sebagai bupati…

QRIS, dari Pasar Tradisional ke Kancah Global

Riuh suasana Pasar Gamping, DI Yogyakarta sudah mulai berkurang pagi itu. Beberapa los tampak kosong ditinggal pulang para pemiliknya yang…

Riuh Demo, Ricuh Massa, dan Krisis Representasi

Jakarta mendadak riuh pada 25 Agustus saat aksi masa yang menamakan diri “Revolusi Rakyat Indonesia” memadati halaman gedung DPR/MPR RI….