Preloader
Binokular Hubungi Kami
Testimoni

AI: Tidak Sekadar If Else

Kecerdasan buatan (AI) lahir dari mimpi menciptakan mesin yang mampu meniru pemikiran manusia. Dimulai dari Turing Test yang diperkenalkan Alan Turing pada 1950, istilah “kecerdasan buatan” secara resmi dikenalkan dalam Konferensi Dartmouth tahun 1956. Saat itu, sistem berbasis aturan sederhana seperti if-else, misalnya pada permainan catur, mendominasi. Namun, kemampuan sistem ini terbatas oleh daya komputasi.

Perkembangan teknologi, baik dari sisi perangkat keras maupun algoritma deep learning, merevolusi dunia AI pada era 2010-an. AI kini mampu belajar dari data dalam jumlah besar tanpa harus mengikuti aturan eksplisit.


Awal Mula LLM

Large Language Models (LLM) seperti BERT (2018) dan GPT dari OpenAI menandai lompatan signifikan dalam pengembangan AI. Dengan memanfaatkan arsitektur transformer, LLM dapat memahami dan menghasilkan bahasa alami dari kumpulan data teks yang sangat besar. Kemampuan ini melampaui logika sederhana dan memungkinkan AI menyelesaikan tugas-tugas kompleks, mulai dari penulisan kreatif hingga analisis data.

LLM mengubah paradigma AI. Sebelumnya, satu model hanya mampu menyelesaikan satu tugas spesifik. Kini, satu model dapat menyelesaikan berbagai jenis permasalahan. Akurasi tetap dapat ditingkatkan melalui proses fine tuning menggunakan data spesifik yang relevan dengan tugas yang hendak dijalankan.

Di sinilah pentingnya menjaga kualitas data. Dataset yang buruk dapat menimbulkan bias atau hasil yang tidak dapat diandalkan.


Yang Tergantikan

AI, khususnya LLM, telah mengotomatisasi berbagai pekerjaan berulang seperti entri data, layanan pelanggan dasar, penulisan konten sederhana, serta beberapa fungsi di sektor manufaktur dan logistik. Bahkan, dalam pengembangan perangkat lunak, otomatisasi juga mulai terjadi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan pengangguran akibat teknologi, khususnya di sektor tertentu.

Belum lama ini, kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) massal muncul dari sejumlah perusahaan teknologi besar, termasuk Microsoft dan Intel. Kami mencoba menganalisis pemberitaan mengenai PHK massal di Microsoft menggunakan tools Newstensity selama Mei 2025.

Puncak pemberitaan terjadi pada 14 Mei 2025, saat Microsoft mengumumkan akan mem-PHK lebih dari 6.000 karyawannya. Dikutip dari India Today, langkah ini dilakukan sebagai bagian dari penyelarasan strategis sambil memperluas investasi di bidang AI. Dalam pernyataannya, perusahaan menyebut PHK ini sebagai bentuk “perubahan organisasi guna memposisikan perusahaan secara optimal di pasar yang dinamis.” Singkatnya, Microsoft tengah mempersiapkan masa depan yang berfokus pada AI dan komputasi awan.

Di luar pernyataan resmi tersebut, sejumlah pengguna media sosial berspekulasi bahwa langkah PHK berkaitan langsung dengan penggunaan AI untuk menggantikan pekerjaan manusia. Salah satu cuitan dari akun X milik gregisenberg yang terpantau lewat Newstensity mengungkap kekhawatiran bahwa AI dapat menggantikan banyak pekerjaan dalam waktu singkat.

Hal ini menunjukkan bahwa adopsi AI memang dapat meningkatkan efisiensi, namun juga menimbulkan dilema etis dan sosial, terutama mengenai nasib pekerja yang terdampak. Greg Isenberg juga menyampaikan bahwa AI bisa menggantikan banyak pekerjaan dalam jangka waktu yang singkat.

Fenomena ini bukan hal baru. Setiap revolusi industri selalu membawa perubahan lanskap pekerjaan. Revolusi Industri Pertama di abad ke-18 memperkenalkan mesin uap dan tenaga mekanik yang menggantikan pekerjaan manual seperti tenun tangan. Revolusi Kedua di abad ke-19 menghadirkan listrik dan produksi massal, menggeser pekerja agraris ke pabrik. Sementara Revolusi Ketiga di abad ke-20 dengan otomatisasi dan komputer mulai mengurangi kebutuhan tenaga kerja di lini produksi. Semua ini menandakan bahwa setiap gelombang teknologi akan menggeser peran manusia.


Apa yang Bertahan

Kreativitas orisinal, empati dalam konseling, serta pengambilan keputusan etis masih sulit digantikan AI. Keterampilan interpersonal seperti kepemimpinan dan negosiasi yang memerlukan pemahaman mendalam atas nuansa budaya dan emosi tetap menjadi domain manusia.

Kolaborasi manusia dan AI terbukti efektif. AI mengolah data kompleks, sementara manusia memberikan sentuhan kreatif dan etis, memastikan bahwa teknologi mendukung, bukan menggantikan esensi kemanusiaan. Adaptabilitas terhadap perubahan sosial dan kemampuan mengambil keputusan moral adalah keunggulan manusia yang tidak tergantikan.

Selain itu, kehadiran AI justru memunculkan peran-peran baru, seperti data scientist, AI ethicist, dan machine learning engineer. Peran-peran ini menuntut keterampilan manusia untuk mengembangkan, mengawasi, dan mengintegrasikan teknologi AI.

Profesi lain yang belum tergantikan meliputi pengajar yang membimbing secara personal, dokter yang mendiagnosis dengan pendekatan manusiawi, dan seniman yang mencipta dengan makna emosional. Ketiganya membutuhkan intuisi dan koneksi emosional yang sulit direplikasi mesin.

Sejarah juga menunjukkan bahwa setiap revolusi industri selalu melahirkan profesi baru. Revolusi Industri Kedua menciptakan teknisi mesin dan manajer pabrik, sementara Revolusi Industri Ketiga menghadirkan profesi seperti programmer dan analis sistem.


Menolak atau Berdamai

Sebagian orang menolak AI karena khawatir akan hilangnya pekerjaan dan risiko etis, seperti bias algoritma atau penyalahgunaan data. Di sisi lain, sebagian memilih berdamai dengan AI melalui peningkatan literasi digital, eksplorasi teknologi, serta integrasi yang bijak.

Pendekatan berdamai ini menekankan pentingnya adaptasi. Masyarakat dapat memanfaatkan AI untuk tugas rutin sambil terus mengasah keterampilan yang tidak bisa diotomatisasi, menciptakan keseimbangan antara inovasi dan nilai kemanusiaan.

Pendidikan dan kebijakan yang mendukung transisi pekerja ke bidang baru menjadi krusial untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan manfaat AI dalam jangka panjang. Lebih dari sekadar mengajarkan cara menggunakan AI, penting pula membentuk manusia yang kritis. Kemampuan berpikir kritis akan membuat individu mampu mengevaluasi output AI, mengenali bias, dan mengambil keputusan yang etis. Dengan begitu, kolaborasi antara manusia dan AI menjadi lebih sinergis dan bermakna.


Penulis: Abadi Gilang, Ilustrasi: Aan K Riyadi

Analisis Lainnya

Siapa yang Benar? Menilik Berbagai Survei Kinerja Setahun Prabowo-Gibran

Tanggal 20 Oktober 2025 menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan Kabinet Merah…

Dampak Senyap dari Udang Beku Cikande

Bagaimana jika makanan yang selama ini kita anggap aman ternyata membawa ancaman tak kasatmata? Di tengah panasnya isu makan bergizi…

Konversi Kritik Menjadi Dukungan ala Purbaya

Siang itu, sebuah nomor berdering di ponsel Purbaya Yudhi Sadewa yang masih menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lewat…

Membaca Ulang Pidato Kontroversial Prabowo di PBB tentang Palestina

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto kembali menegaskan dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina dan implementasi solusi dua negara (two-state solution). Hal…

Gagal Paham Negara Soal Anarkisme: Dari Stigma “Anarkistis” hingga Kriminalisasi Buku 

Setiap kali jika demonstrasi di Indonesia berujung ricuh, kepolisian hampir selalu menggunakan istilah “anarkistis” untuk menjelaskan peristiwa tersebut. Kosakata ini…

Kinerja TNI-Polri dan Evolusi Ketakutan Sipil

Ketika perang saudara di Inggris tahun 1642-1651, filsuf Thomas Hobbes tinggal di Prancis, mengerjakan karya filosofisnya yang dikenal sebagai mahakarya…

Pantang Mundur MBG di Tengah Banjir Kritikan dan Keracunan Massal

MBG atau yang diketahui sebagai program Makanan Bergizi Gratis masih menjadi topik yang terus diperbincangkan oleh masyarakat. Agaknya selalu ada…

17+8 Tuntutan Rakyat: Sebuah Pekerjaan Rumah Untuk Negara

Gelombang demonstrasi massa sedang melanda seluruh Indonesia. Demo massa yang dimulai dari tanggal 25 Agustus ini, telah menyebar bagai api…

Politikus Perempuan PDIP di DIY, Siapa Paling Populer?

Di tengah dinamika politik yang sering dianggap kental dengan figur laki-laki, nama Endah Subekti Kuntariningsih mencuat setelah terpilih sebagai bupati…

QRIS, dari Pasar Tradisional ke Kancah Global

Riuh suasana Pasar Gamping, DI Yogyakarta sudah mulai berkurang pagi itu. Beberapa los tampak kosong ditinggal pulang para pemiliknya yang…